Di tempat lain, Levi merasa tidak tenang latihan footsal.
Tendangannya tak satu pun ada yang masuk ke gawang. Bayangan Nanda
membuat kosentrasinya pecah.
Begitu selesai latihan, Levi langsung
cabut dari ke ruang HMP. Tapi kompleks bangunan Universitas Gadjah Mada
kelewat luas, dan bertingkat pula. Levi baru memeriksa setengah
sekolah, tapi napasnya terasa hampir putus. Kebetulan dia bertemu dengan
Pak Maman Cleaning Service itulah yang memberi tahu Levi bahwa Nanda di
bawa Titan cs ke rumah Rinda.
“ Sial!” desis Levi sambil balik badan buru-buru. Sampai rumah Rinda, Nanda sedang dalam cengkeraman Titan.
Tanpa
salam, dia langsung menerjang pintu depan. Gadis-gadis yang
mengelilingi Nanda kontan diam. Semua langsung menggeser tubuh begitu
Levi menerobos ke tengah kerumunan dan meraih Nanda ke dalam pelukannya.
Tanpa bicara dia membawa Nanda keluar.
“ Kamu nggak apa-apa, Nda?” Dengan pandangan wajah di sebelahnya.
Nanda tidak menjawab. Cemberut. Ia merasa sakit hati. Marah, dongkol, emosi. Seenaknya saja main asal tuduh.
Levi merasa bersalah. Dia tidak mau bertanya lagi, malah makin mempererat pelukannya dan berucap lirih. “ Maafin aku, Nda.”
Sejak
peristiwa itu, Levi memperketat pengawalannya. Tidak akan membiarkan
Nanda hilang sekejap pun dari pandangan mata. Seandainya ada jadwal
kegiatan mereka bertabrakan, dia harus mengalah.
Dan besoknya, sabtu sore, Levi mengajak Nanda pergi keluar.
“ Kok ke sini?” Nanda agak heran ketika Levi membelokkan mobil ke halaman sebuah restoran.
“ Emang kenapa?” Levi balik tanya.
“
Ng.. Nggak apa-apa.” Nanda ragu mau bilang bahwa resto itu terlalu
romantis. Padahal kedatangan mereka ke resto justru menetralkan
perasaan.
Resto ini begitu teduh oleh rimbun pepohonan. Seluruh
bangunannya terbuar dari bambu. Lukisan-lukisan yang elok memenuhi
dinding. Ukiran-ukiran Jepara yang menghiasi meja dan kursi.
Patung-patung Bali ada di setiap ruangan. Asbak, tempat tisu, tempat
lilin, dan wadah sendok-garpu terbuat dari tembikar warna tembaga dengan
berbagai variasi warna coklat. Di tengahnya mengapung
bertingkai-tingkai teratai, pancuran bambu yang menciptakan gemericik
air mengalir.
“ Di sini ayam bakarya enak lo?” ucap Levi setelah mereka duduk berhadapan.
Nanda hanya tersenyum. Ia tidak yakin sanggup menelan seenak apa pun ayam bakarnya. Karena ia selalu gugup jika dekat Levi.
Akhirnya
pesanan mereka datang. Ayam bakar yang menggiurkan berwarna coklat
dengan lelehan lemak dan mentega. Baunya benar-benar menggoda Iman,
benar-benar harum.
“ Kamu mau apanya, Dinda?” ucap Levi sambil menarik ayam bakar itu di depannya.
“ Aku mau kakinya aja. Rasanya aku pengeng nendang orang.”
“ Hemm.. Jangan nervous gitu dong?” tegurnya halus.
Nanda langsung tersentak.
“ Ya Allah! Emang keliahatan banget, ya? Nanda mencari alasan.
“
Kamu nggak ngrasain sih. Gimana aku nggak kesel kalo di tuduh yang
macem-macem! Nanda mencuci otak Levi lah, Mandi kembang tengah malah.”
Kesibukan Levi memotong-motong ayam bakar langsung terhenti. Di pandangnya Nanda membuat Levi merasa bersalah.
“
Sorry banget, Nda. Aku benar-benar bego, aku nggak bisa cepat sadar
kalo kamu di bawa ke rumah Rinda. Aku janji, kejadian itu nggak akan
terulang lagi.”
Nanda menarik napas lega.
“ Ini sebagai tanda permohonan maaf. Levi meletakkan sati potong ayam di piring Nanda. “ Itu bagian yang paling gede lo?”
Nanda tersenyum tipis. Belum-belum sudah mulai gugup.
“ Kalo misalnya.. ng.. siapa yang.. yang...” Nanda tergagap, wajahnya langsung berubah merah merona.
“ Yang punya feeling, duluan?” ucap Levi.
“ Emm.. Iya.”
“ Ya aku lah? Masa kamu.”
“ Gitu ya?” Nanda menarik napas lega. Ia kira Levi akan bilang mempersilakannya naksir duluan.
“ Jadi begini... Karena aku suka sama kamu makanya aku pilih duduk
dekat kamu. Dan kalo kamu di tanya kenapa aku suka sama kamu, kamu jawab
saja karena aku menyukimu.”
“ Oh, itu udah pasti.” Sahut Nanda seketika. Memang begitu yang dia ceritakan sama Titan cs.
“ Lalu mereka tanya apa lagi?” ucap Levi.
“ Menyatakan cintanya, gimana?”
“ Bagusnya gimana?”
“ Nggak tau.” Sahut Nanda polos.
“ Aku maunya sih.. ya nggak ada pertanyaan.” Sahut Nanda mendadak jadi judes. Levi hanya tersenyum.
“ Ok! Kamu suka sunset?”
“ Tergantung. Tapi di Jogja nggak ada momen sunset yang bagus.”
“ Bukan itu pointnya, Dinda? Aku sangat suka berburu sanset. Yang
paling bagus di Pantai Senggigi, Lombok. Kapan-kapan waktu liburan aku
ajak ke Lombok untuk berburu sanset, gimana? Aku memiliki foto sunset di
Senggigi ukuran 4R. Karena aku belum pernah mengajakmu ng-date? Jadi
kamu bilang itu saja sama Titan, bilang itu yang pernah aku kasih sama
kamu waktu nyatain cinta.
Kening Nanda mengerut.
“ Tapi itu kan aneh.”
Levi tersenyum tipis. “ Dinda? Kalo bunga, coklat, atau kartu.. itu udah basi. Emang dulu pacar kamu kasih apa?”
Deg! Nanda tersentak. Ih Levi ini...
“ Bukan urusan kamu.”
Levi tersenyum lagi. “ Ya udah. Jadi bilang begitu sama Titan. Begitu
saja di permasalahkan. Gadis hanya merepotkan saja. Apa mereka nggak
suka kalo melihat orang pacaran.
“ Tapi itu kan aneh. Apalagi Titan itu orangnya nekat. Kalo meraka tanya, kok Cuma ngasih foto?”
“ Bilang aja, aku janji akan ngajak kamu ke sana nanti kalo kita merried, biar kapok dia.”
HAH!!!!! Sampai Nanda ternganga bengong. Dua jam berdua di retos
dengan Levi. Levi kenyang karena sudah menghabiskan dua piring nasi plus
dan dua potong ayam bakar. Sementara Nanda kenyang karena nervous dan
jantungnya berdegup kencang. Kayaknya aku harus ke rumah sakit, keluh
Nanda dalam hati. Mungkin, kali aja ada jantung yang nganggur. Karena
jantung aku kayaknya sebentar lagi tewas, terlalu sering berdebar-debar
lebih cepat dari maksimum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar