NASIKH DAN MANSUKH



NASIKH DAN MANSUKH

A.Pendahuluan

Di antara kajian islam tentang hukum yang sampai sekarang masih kontroversial adalah persoalan nasakh, terutama jika dihubungkan dengan kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an. Secara historis nasikh-mansukh sesungguhnya merupakan bidang ilmu pengetahuan yang memiliki sejarah teramat panjang, baik dalam konteks intrnal hukum Islam, lebih- lebih kita diposisikan secara eksternal antara ajaran nabi Allah yang satu dengan ajaran nabi Allah yang lain.

Secara fungsional seperti ditegaskan  Muhammad Mahmud Hijazi, keberadaan nasikh-mansukh dalam pembentukan dan pembangunan hukum sangatlah signifkan, bahwa benar-benar esensial. Terutama ditengah-tengah umat yang pembangunan hukumnya tengah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat cepat. Dalam dunia medis misalnya, apa yang tampak sesuai untuk dijadikan obat pada hari ini, belum tentu cocok sebagai obat untuk hal yang sama esok harinya.

Persoalan nasikh-mansukh akan menjadi sangat problematika ketika digunakan untuk menghapuskan sebagian ayat-ayat al-Qur’an dengan sebagian ayat-ayat yang lain, baik penghapusan itu terhadap teks ayatnya, maupun terhadap isi kandungan atau bahkan kedua-duanya seperti yang umum dikenal oleh masyarakat luas, khususnya kalangan kaum terpelajar dalam bidang kajian Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqh. Perdebatan panjang tentang nasikh-mansukh yang bersifat eksternal antara syari’at Muhammad dengan syari’at nabi-nabi sebelumnya. Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang nasikh dan mansukh akan dijelaskan lebih terperinci dalam makalah ini.



B.Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahannya sebagai berikut:

1.Bagaimanakah pengertian nasikh- mansukh?

2.Bagaimana cara mengetahui nasikh-mansukh?

3.Apa sajakah macam-macam nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an?

4.Bagaimanakah perbedaan pendapat yang terjadi tentang adanya nasikh-mansukh?

5.Apa sajakah hikmah dari adanya nasikh dalam Al-Qur’an?


C.Pembahasan

1.Pengertian Nasikh-Mansukh

Ada beberapa pengertian nasikh antara lain :

a.       Menghilangkan (izalah) yaitu mengganti ayat sebelumnya (QS.al-Hajj:52).[1]

b.      Mengganti (Tabdil) yaitu mengoreksi dan meralat kalimat dengan yang lain yang lebih baik, namun kandungannya tetap (QS. Al-Nahl: 101)[2]

c.       Memalingkn (Tahwil) yaitu ayat yang dimansukh diperbaharui kandungan-kandungan sehingga lebih jelas.

d.      Memindahkan (Menukil) yaitu memindahkan peletakan kata dalam suatu ayat agar lebih baik arti dan maknanya.

e.       Mengkhususkan (Tahshish) yaitu menghususkan/menspesifikasikan pembahasan ayat menjadi lebih terperinci sehingga lebih mudah dipahami.

Dari definisi di atas berarti naskh memiliki makna yang berbeda-beda. Dapat berarti menghilangkan, mengganti, memalingkan, menukil dan mengkhususkan, yang dihapus disebut mansukh dan yang menghapus disebut nasikh.



2.      Cara Mengetahui Nasikh-Mansukh

Nasikh-Mansukh dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut:

1.      Pernyataan dari Rasulullah SAW, seperti sabda beliau :

“Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).

2.      Perkataan sahabat

3.      Mengetahui sejarah seperti hadist syaddad bin Aus:

“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinaskh oleh hadist ibnu Abbas :

 “bahwasanya Rasulullah SAW  berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR. Muslim).

Dalam salah satu jalur sanad syaddad dijelaskan bahwa hadist itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika jadi fathu Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah SAW dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.

4.      Ijma’ ulama’, seperti hadits yang berbunyi :

Barang siapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan Ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi meunjukkan adanya nasikh.



3.      Macam – Macam Naskh Dalam Al-Qur’an

Pengertian etimologi dari kata nasakh pada satu sisi tampak mengisyaratkan ruang lingkup kajian nasikh-mansukh yang cukup luas. Memiliki ruang lingkup yang cukup luas, ketika nasikh-mansukh tidak semata-mata dipahami dalam konteks internal ajaran agama islam, akan tetapi juga merambah pada pendekatan eksternal antar agama. Pembahasan tentang naskh antar agama ini justru tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai di dalam berbagai literatur yang kita baca sekarang ini, baik itu kitab-kitab tafsir maupun kita ushul fiqh. Kebanyakan kitab tafsir dan ushul fiqh lebih berorientasi pada pembahasan tentang nasikh-mansukh internal agama islam, dan bahkan lebih sempit dari itu, justru tertuju kepada pengkajian tentang nasikh-mansukh internal Al-Qur’an.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kemungkinan me-nasakh al-Qur’an dengan sesama al-Qur’an, apalagi dengan persoalan me-nasakh al-Qur’an dengan hadits. Kebanyakan ulama berpendirian bahwa me-nasakh sebagian ayat al-Qur’an dengan sebagian yang lain hukumnya boleh. Bahkan di antara mereka ada yang tidak keberatan untuk me-nasakh al-Qur’an dengn hadits.

Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an membedakan nasakh ke dalam tiga macam, yakni :

1.      Naskh al-Tilawah wa baqa’ al-Hukmi, yaitu penghapusan al-Qur’an secara tekstual, tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya atau hukumnya tetap dinyatakan berlaku. Contohnya ialah pernyataan Umar bin al-Khattab yang menyatakan: “sekiranya aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambahkan al-Qur’an dengan yang tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat:


2.      Naskh al-Hukmi wa Baqa’ al-Tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan. Di antara contohnya adalah perintah mengarahkan kiblat shalat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan asyura’ dengan puasa Ramadhan.

3.      Nasak al-Tilawah wa al-Hukmi Ma’an yaitu penghapusan teks al-Qur’an dan sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung didalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “pada mulanya, diturunkan ayat al-Qur’an (tentang saudara sepersusunan yang haram untuk dinikahi) adalah sepuluh susunan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali susunan yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah wafat.



4. Perbedaan Pendapat Tentang Adanya Nasikh dan Mansukh

Berbeda dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan diatas, sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antara sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan.[3] Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadits karena derajat Hadits bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, diantara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat. Menurut para pendukung nasikh-mansukh, surat-surat al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar.[4] Pertama, kelompok surat-surat al-Qur’an yang didalamnya jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat al-Qur’an yang didalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 31 surat.[5] Ketiga, kelompok surat-surat al-Qur’an yang didalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang didalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.

Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. As Sayuthy mengatakan dalam Al Itqan bahwa ayat manshukhah hanya 21 ayat, kemudian mengecualikan ayat Isti’zhan dan ayat qismah, yaitu ayat 58 S.24 , An Nur dan ayat 7 S.4, An Nisa’ As Sayuthi menegaskan ayat ini muhkamah. Maka tinggallah 19 ayat yang mansukhah menurut As Sayuthy.

Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang oleh al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Diantara ulama indoneia yang secara tegas menolak ada kemungkina ada nasikh-masukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-naskh-an oleh ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.

Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat dibawah ini :

Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah 106).

Artinya: “Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).

Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat diatas dengan penertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunya wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada maam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).

Menurut al-Wahidi perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah meyindir Nabi Muhammad secara mereka berkata dengan sesamanya : “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini, sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua ayat tersebut.

Berlain dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun. Penafsiran kata “ayatin” dalam al-Baqarah : 106 dan “ayatan” dalam al-Nahl : 101 oleh pendukung nasikh-mansukh, menurut hemat penulisan tidaklah tepat dan cenderung dipaksakan. Bahkan lebih dari itu, Muhammad Abduh menuduhnya sebagai periwayatan yang didustakan. Alasannya sebab nuzul yang dikutib al-Suyuti tidaklah kuat. Selain redaksinya tidak tegas karena menggunakan kata-kata “ruwiya” (diriwayatkan) serta kata-kata “dalam suatu riwayat”, juga terutama berlawanan engan al-Qur’an surah al-Qiyamah : 16-18 dan surah al-A’la: 6 yang pada intinya menjamin kekuatan ingatan atau hafalan Nabi Muhammad terhadap al-Qur’an.

5. Hikmah Naskh dalam Al-Qur’an

Dengan mengetahui, memahami ilmu nasikh mansukh dalam al-Qur’an kita akan semakin yakin bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT. Dan semakin kuat pula keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat yang paling agung.

Hikmah mempelajari naskh yakni:

a.       Mengetahui keshalihan seorang hamba

b.      Menuju derajat syari’at yang sempurna

c.       Menguji orang-orang mukallaf dengan mengikuti adanya nasikh mansukh

d.      Menjelaskan hal-hal yang baik dan mudah bagi umat.



D.    Simpulan

Dari penjelasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:

1.      Pengertian nasikh adalah ayat yang menghapus dan mansukh adalah ayat yang dihapus.

2.      Cara mengetahui nasikh dan mansukh yaitu dengan:

a.       Pernyataan dari Rasulullah SAW

b.      Perkataan sahabat

c.       Mengetahui sejarah

d.      Ijma’ ulama’

3.      Macam-macam nasikh :

a.       Naskh al-Tilawah wa baqa’ al-Hukmi

b.      Naskh al-Hukmi wa Baqa’ al-Tilawah

c.       Naskh al-Tilawah wa al-Hukmi Ma’an

4.      Perbedaan pendapat tentang adanya nasikh dan mansukh

Perbedaan pendapat dalam menetapkan naskh, membayangkan kepada kita beberapa macam perselisihan yang lain dalam pembicaraan tentang naskh.

5.      Hikmah naskh dalam al-Qur’an

a.       Mengetahui keshalihan  Mengetahui keshalihan seorang hamba

b.      Menuju derajat syari’at yang sempurna

c.       Menguji orang-orang mukallaf dengan mengikuti adanya nasikh mansukh

d.      Menjelaskan hal-hal yang baik dan mudah bagi umat.



 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofi’i & Ahmad Syadali. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2009. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Karman & Supiana. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika.

http://www.mizan-poenya.co.cc/2010/09/makalah-ilmu-nasikh-mansukh.html

http://www.gensalaf.net/?p=78

http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-nasikh-dan-mansukh



[1] Karman dan Supiana, Ulumul Qur’an, hal 149

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Al-Itqan II: 37-38

Tidak ada komentar: