Cara Membersihkan Hardisk Menggunakan Disk Cleanup

Mengenai Disk Cleanup atau membersihkan file-file tidak berguna pada hardsik.

Kinerja komputer/laptop sangat berpengaruh pada kapasistas hardisk. Oleh karena itu, membersihkan dan menghapus file-file yang tidak berguna pada hardisk bisa meningkatkan performa secara keseluruhan. Jika Anda menggunakan Windows7, terdapat fitur Disk Cleanup untuk melakukan hal tersebut.

Proses Disk Cleanup akan membersihkan file-file tidak terpakai, seperti temporary files, recycle bin, system files, dan log-log lainnya yang terekam secara otomatis pada hardisk Anda. Jika sudah terlalu lama (atau tidak pernah) tidak dibersihkan, file-file tersebut bisa menggunakan space yang besar pada hardisk.

Untuk Anda pengguna Windows7, di bawah ini adalah cara membersihkan file pada hardisk menggunakan Disk Cleanup.

Membersihkan hardisk menggunakan Disk Cleanup (Windows7)

1. Klik Start/Logo Windows, dan pada kolom ‘search’ ketikkan ‘disk cleanup’. Klik Disk Cleanup pada hasil yang tampil.

Disk Cleanup windows7
2. Pada window Disk Cleanup, ada bisa memilih drive/partisi mana yang ingin Anda bersihkan. Pilih salah satu, misalnya saja drive C.

membersihkan hardisk komputer

3. Centang semua file yang ingin dibersihkan, kemudian klik ‘OK’.

membersihkan file pada hardisk

4. Setelah itu akan muncul jendela konfirmasi/pesan. Tekan ‘Delete Files’ untuk segera memproses.

5. Proses selesai. Ulangi langkah-langkah di atas pada drive/partisi yang lain pada hardisk Anda.

Proses di atas juga bisa Anda lakukan melalui jendela Explorer. Pada mode Windows Explorer, klik kanan masing-masing pada setiap drive (C, D, E, dst) dan pilih ‘Properties’. Di bawah diagram kapasistas drive tersebut, terdapat tombol Disk Cleanup. Klik tombol tersebut dal prosesnya akan sama seperti di atas.

Anda bisa menghemat ratusan MB dari proses tersebut, atau bahkan lebih jika Anda jarang membersihkan hardisk komputer/laptop. Umumnya, drive C akan menyimpan file-file system dan log-log lainnya akibat berbagai aktivitas Anda di komputer/laptop, jadi sering-seringlah lakukan proses Disk Cleanup pada drive C, setidaknya sebulan sekali, untuk mengoptimalkan kinerja komputer/laptop secara keselurhan.
READ MORE - Cara Membersihkan Hardisk Menggunakan Disk Cleanup

Panduan Disk Defragment Pada Windows

Disk Defragment adalah proses untuk ‘memadatkan’ fragmen-fragmen yang terdapat di dalam hardisk. Fragmen-fragmen itu sendiri terbentuk pada hardisk setiap waktu sejalan dengan berbagai proses seperti menyimpan, mengubah atau menghapus data. Saat kita merubah data dan menyimpannya, biasanya file baru tersebut tidak ‘menindih’ lokasi file sebelumnya, melainkan tersimpan pada lokasi yang baru. Begitu seterusnya. Semakin lama, fragmen-fragmen akan terbentuk pada hardisk dan menyebabkan kinerja hardisk semakin lambat dikarenakan terlalu banyak pembacaan pada lokasi yang berbeda-beda.

Proses defragmentasi hardisk akan meningkatkan kinerja hardisk (read/write) secara signifikan dan meningkatkan performa komputer/sistem secara keseluruhan. Anda disarankan untuk melakukan defrag pada hardisk Anda setidaknya dua bulan sekali, atau setiap bulan jika perlu, sehingga kinerjanya selalu terjaga.

Anda bisa melakukan proses Disk Defragment secara manual pada windows Anda (menggunakan fitur Disk Defragmenter Windows) dengan mengikuti langkah-langkah di bawah ini.

Disk Defragment hardisk pada Windows

1. Buka aplikasi Disk Defragmenter pada Windows Anda dengan salah satu cara berikut:

klik tombol Start –> All Program –> Accessories –> System Tools –> Disk Defragmenter
masuk ke mode Windows Run (tahan Windows Key + R) –> ketik dfrgui –> Enter/OK
pada mode Explorer (tahan Windows Key + E) –> klik kanan pada salah satu drive (C, D, atau E) –> Properties –> pindah ke tab Tools –> pilih Defragment Now

melakukan disk defragment windows

2. Setelah aplikasinya Disk Defragmenter terbuka, pilih salah satu drive yang ingin di-defrag, kemudian klik tombol Analyze Disk untuk menganalisa persentase fragmen yang akan dipadatkan, atau langsung menekan tombol Defragment Disk untuk langsung menjalankan proses defrag.

Proses defragmentasi hardisk membutuhkan waktu beberapa menit atau bahkan beberapa jam, tergantung pada kapasitas dan persentase file pada drive tersebut. Namun Anda masih bisa menggunakan komputer Anda selama proses defragmentasi hardisk berlangsung.
READ MORE - Panduan Disk Defragment Pada Windows

Perbedaan Versi 32-bit dan 64-bit pada Windows

Pada Windows, baikt itu XP, Vista dan Windows 7, terdapat dua versi yang sering kita temui, yaitu Windows 32-bit dan 64-bit. Anda akan sering menemukan pilihan antara keduanya saat akan menginstal Windows Vista/7, menginstal driver hardware PC/laptop, menginstal antivirus, dan lain sebagainya. Sebagian dari kita mungkin masih bingung mengenai perbedaan 32-bit dan 64-bit pada Windows, atau masih ragu ketika harus memilih di antara kedua versi OS tersebut.

Jika demikian, Anda berada pada halaman yang tepat, karena berikut ini Edutechnolife akan menuliskan tentang kedua versi sistem operasi (OS) Windows tersebut, berdasarkan pertanyaan yang sering timbul sehubungan dengan topik ini.

Perbedaan Windows 32-bit dan 64-bit
windows 32-bit atau windows 64-bit
Istilah 32-bit dan 64-bit mengacu pada kemampuan prosesor komputer (CPU) mengolah data dan informasi. Versi 64-bit mampu menangani jumlah data yang lebih besar daripada versi 32-bit. Sederhananya, 64-bit bisa mengatasi jumlah RAM (random access memory) yang jauh lebih besar dari pada 32-bit.

Secara teori, Windows 32-bit maksimalnya hanya mampu menangani RAM sebesar 4096 MB (4 GB), sedangkan versi 64-bit mampu sistem RAM hingga 17 Milyar GBs.

Catatan:
Windows 7 yang terbagi menjadi beberapa versi (Home Edition, Professional, Ultimate, dsb) memiliki batasan dukungan terhadap RAM yang bisa digunakan. Contohnya, versi Home Edition hanya mampu mendukung RAM sebesar 16 GB, sedangkan versi Ultimate mampu mendukung sistem dengan besar RAM hingga 192 GB.

Cara mengetahui apakah komputer Anda menggunakan Windows 32-bit atau 64-bit
Untuk memastikan apakah komputer Anda menggunakan versi 32-bit atau 64-bit, ikuti langkah-langkah berikut (untuk Windows Vista dan 7):

Klik tombol Start
Klik kanan di Computer –> Pilih Properties
Pada bagian System, Anda akan menemukan jenis sistem operasi Windows yang Anda gunakan (lihat gambar)
Windows 32-bit dan Windows 64-bit

Instalasi Windows 7: 32-bit atau 64-bit?
Setelah mengetahui perbedaan keduanya, tentu Anda sudah tahu bahwa Windows 64-bit lebih baik dari pada 32-bit. Sistem operasi 64-bit akan sangat terasa kelebihannya jika komputer Anda menggunakan RAM 4 GB atau lebih. Itu karena sistem 64-bit mampu mengolah data lebih efisien. Sistem 64-bit misalnya akan lebih responsive saat Anda sedang membuka banyak program sekaligus dan saat beralih dari satu program ke program lainnya.

Namun, untuk menginstal Windows versi 64-bit, komputer Anda harus memiliki prosesor (CPU) yang capable atau support terhadap sistem operasi 64-bit. Untuk mengetahuinya, Anda dapat mengikuti langkah berikut (untuk Windows Vista dan 7):

Buka Performance Information and Tools. Caranya: Start –> Control Panel. Pada search box, ketik Performance Information and Tools dan kemudian pada hasil yang tampil, pilih Performance Information and Tools.
Kemudian klik View and print detailed performance and system information.
Pada kategory System, Anda akan menemukan beberapa informasi tentang sistem operasi komputer Anda. Terdapat System type yang memberitahukan versi OS yang Anda jalankan, kemudian di bawahnya terdapat 64-bit capable yang memberitahukan apakah komputer Anda mampu menjalankan OS 64-bit atau tidak.
kelebihan versi 64-bit windows

"Jika Anda menggunakan Windows 64-bit, keterangan 64-bit capable tidak akan tampil pada kategori System seperti yang terlihat pada gambar."

Apabila komputer Anda mendukung sistem 64-bit, mungkin Anda harus mempertimbangkan untuk menginstal Windows versi 64-bit, agar performa komputer Anda lebih responsif. Apalagi jika Anda menambah kapasitas RAM menjadi 4GB atau lebih.

Kompatibilitasnya dengan program, apliaksi dan driver lain
Kebanyakan program dan aplikasi yang didesain untuk berjalan pada OS 32-bit tetap dapat berjalan pada sistem 64-bit, kecuali untuk beberapa program antivirus. Namun tidak untuk kebalikannya. Program dan aplikasi yang didesain untuk sistem 64-bit tidak akan bekerja pada sistem dibawahnya (32-bit, 16, bit, & 8-bit). So, jika Anda menggunakan Windows 64-bit, Anda secara keseluruhan harus menginstal program dan driver yang memang dirancang untuk OS 64-bit.

Pengecualian untuk driver-driver perangkat/device seperti VGA, modem, printer, dan lain sebagainya harus diinstal sesuai dengan jenis OS yang Anda gunakan. Misalnya Anda mengistal deriver versi 32-bit pada komputer yang menggunakan sistem 64-bit, maka printer tersebut tidak akan bekerja. Begitu juga untuk VGA dan device lainnya, harus diinstal sesuai dengan versi OS yang digunakan pada komputer.
READ MORE - Perbedaan Versi 32-bit dan 64-bit pada Windows

Syari'ah, HAM dan Hukum Internasional

HAK–HAK Asasi Manusia adalah hak – hak individual yang berkembang dari pemikiran modern Eropa tentang hokum alam. Hak – hak ini terus berkembang di Barat menjadi standar institusional – legal. Dengan Deklarasi Universal Hak – Hak Asasi Manusia (UDHR) Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), hak – hak ini sekarang telah menjadi hokum internasional. Dalam konteks ini kita berbicara tentang aturan legal, baik domestic maupun internasional, karena hak – hak hanya dapat dilembagakan dalam suatu konteks legal. Demikian, HAM, demokrasi dan aturan hokum secara intrinsic saling berkaitan satu sama lain. Namun, problem serius dalam kaitannya dengan kebangkitan Islam politik belakangan ini adalah karena kalangan Muslim menghubungkan aturan legal dengan hokum Islam, Syari’ah, walaupun mereka mendukung gagasan demokrasi. Baik Muslim maupun non- Muslim yang menjadi penganut demokrasi setuju dengan pandangan Max Weber bahwa system – system demokratik didasarkan atas aturan legal. Namun, kesepakatan ini merosot ketik gagasan – gagasan legal yang diterapkan ditentukan. Substansi hokum internasional mengalienasikan kaum Muslim taat dari komunitas Barat dan internasional.Kaum Muslim awam, fundamentalis dan juga para ulama tradisional percaya bahwa Syari’ah Islam (hukum suci) yang berlaku sebagai dasar ekslusif aturan hukum yang dapat diterima semua umat Islam. Selama perjalanan penelitian saya ke Maghreb pada musim dingin1992, kalangan fundamentalis Muslim mengungkapkan pandangannya dalam kuliah saya bahwa demokrasi Barat bersifat permisif dank arena itu membolehkan lawannya untuk menghapuskannya dengan cara masing – masing, sementara Syari’ah lebih unggul. Tak seorang pun dapat menyerah Syari’ah dari dalam, karena ia telah menarik garis yang jelas antara diri sendiri dan orang lain. Front Penyelamatan Islam ( Front Islamique de Salut ) Aljazair yang secara terbuka mengakui telah menyerang konstitusi Aljazair februari 1989 merupakan salah satu kasusnya ( Deputi pimpinan FIS Haschani mengatakan setelah pemilu 26 Desember 1991 : “ Kami memenangkan pemilu menurut konstitusi mereka yang bukan konstitusi kami, konstitusi kita adalah Al – Qur’an”). Seandainya FIS berkuasa, langkah pertama yang akan diambilnya adalah menghapuskan konstitusi dan mendeklarasikan nizam al-islami ( sintem pemerintahan Islam berdasarkan Syari’ah) . Dari sudut pandang yang tercerahkan, Muslim pembaru hokum Abdulahi Ahmed An-Na’im dengan terus terang menyatakan bahwa penerapan hokum Syari’ah tidak diperlakukan karena ini hanya akan memberikan sumbangan bag mapannya regim-regim totaliter sebagaimana yang terjadi di negarinya sendiri, Sudan . An-Na’im menyatakan bahwa Syari’ah bukanlah “kendaraan yang tepat bagi penentuan dari islam dalam konteks sekarang… Syari’ah dikonstruksikan oleh para fuqaha … walaupun berasal dari Al-Qur’an … Al-Qur’an dan sunnah, Syari’ah tidak bersifat ilahiyah karena ia merupakan produk dari interprestasi manusiawi atas sumber – sumber tersebut . Sebagaimana dikutip diatas,An-Na’im berbicara tentang “ konteks sekarang” sebagai kerangka waktunya. Dengan gagasan ini, An-Na’im merujuk kepada kondisi-kondisi kontemporer di dunia islam. Kondisi tersbut berlaku secara global. Seorang sosiolog Harvard terkeuka, Theda Skocpol, mendefinisikan kerangka waktu ini sebagai “ waktu dunia” (world time) . Kita hidup dalam suatu era yang dicirikan oleh globalisasi yang melahirkan suatu struktur dimana berbagi instansi pusat, sedang menghilang .
Memang ada hukum Internasional, tetapi tidak ada institusi yang mampu memberlakukan norma – norma hokum untuk seluruh dunia. Sejajar dengan globlisasi yang menyuluruh ini, merupakan fakta bahwa budaya-budaya yang ada berbeda-beda namun setara dalam hal norma, nilai dan cara pandanganya. Gagasan tentang pembangunan dasar – dasar yang berisfat lintas-budaya dalam system hubungan internasional menjadi isu yang relevan. Dalam paper ini, saya akan berusaha menyoroti isu HAM dari sudut pandang disiplin Hubungan Internasional, seraya tetap setia kepada suatu pendekatan interdispliner yang melibatkan hokum internasional dan antropologi budaya. HAM tidak dapat dibangun secara internasional atas dasar-dasar yang bersifat lintas-budaya. Fokus ini dihubungkan dengan konteks menyeluruh yang disoroti diatas sehingga HAM berada di pusat upay membangun dasar-dasar lintas-budaya dalam system hubungan internasional. Kita harus mencamkan bahwa HAM merupakan konsep budaya yang berawal dari Eropa. Walaupun konsep ini, di satu sisi, menjadi terkait dengan globalisasi, di pihak lain tidak ada dunia atau budaya yang universal.

Hubungan-Hubungan Internasional dan HAM:
Beberapa Pertimbangan Metodelogis untuk Menggulirkan Isu
HAM yang bersifat individual jelas meupakan suatu konsep budaya mengenai moralitas, yang berawal di Eropa. Konsep ini berkembang dari gagasan tentang hokum alam dan terkait dengan aspek cultural dan social yang riil dalam suatu proses individuasi yang terjadi pada saat bangkitnya modernitas . Dengan diadopsiny prinsip dasar konsep ini di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia pada 1948, konsep ini menjadi konsep internasionl yang disponsori regim internasional terkemuka, PBB . Sudah dikemukakan, HAM merupakam suatu konsep cultural yang sejajar dengan pernyataan lain bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada budaya yang muncul adalah : adakah nternasional berkaitan dengan HAM? Jelas, hubungan internasional di antara berbagai Negara-bangsa yang ada membuat moralitas atas dasar yang bersifat internasional itu harus ada .Meski demikian, tidak ada moralitas. Dalam menganilisis sikap yang berbeda-beda yang dianut dalam berbagai budaya mengenai perang (misalnya, sikp negative di Barat dan sikap sebaliknya di Dunia ketiga), seorang ahli hubungan internasional terkemuka K.J Holsti berhak memunculkan pertanyaan mengenai apakah kita masih mempunyai satu system internasional atau banyak sikap berlawanan yang mencerai beraikan umat manusia . Negara-negara didunia ketiga, yang pernah dianggap sebagai model untuk meratakan jalan kepada kemanusiaan yang baru dan lebih baik ( misalnya, tiers-mondisme romantic Frantz Fanon ), sekarang membangun kelompok – kelompok penekan di dalam Komisi HAM PBB di Jenewa untuk mencegah Negara-negara Barat memberlakukan resolusi-resolusi mengenai pengutukan terhadap pelanggaran HAM di Negara-negara Dunia Ketiga tersebut. Apakah ada system – system internasional yang beragam dalam kaitannya dengan penerimaan dan pelembagaan HAM ?
Ketika system Negara – Negara (system of states) awal muncul sebagai system internasional yang pertama dalam sejarah umat manusia, setelah perdamaian Westphalia 1648, komunitas berbagai Negara yang ada waktu itu hanyalah bangsa Eropa. Setelah Perang Dunia II dan seluruh proses dekolonisasi, system ini diperluas sampai mencakup seluruh dunia. Sistem hokum yang telah mengatur system Negara-neara Eropa pada masa sebelumnya telah menjadi, dengan berlangsungnya globalisasi, suatu system hokum internasional. Sebagaimana dikemukakan seorang ahli hokum Oxford : Tidak pernah diragukan, ketika sebuah negara baru dan independen lahir … ia terikat kepada kewajiban-kewajiban umum hokum iternasional Negara baru atas “persetujuan diam-diam” atau “yang disimpulkan” itu Nampak benar-benar rapuh. ” Apa yang dikatakan diatas berlaku, antara lain, pada “ persetujuan dia,-diam” Negara-negara Dunia ketiga mengenai Deklarasi Universal HAM. Persetujua ini, dalam kenyataannya, tidak mempunyai dukungan kuat yang sesuai di kebanyakan Negara DUnia Ketiga. Di garis depannya adalah Negara-negara Islam yang menjadi perhatian kami dalam analisis ini.
Untuk mengembangkan pemahaman yang kukuh mengenai konteks menyeluuh dari isu-isu yang dibicarakan di atas, kita haus menghubungkan realitas Negara-negara dunia ketiga yang tidak menghormati norma-norma HAM dengan realitas lain berupa tidak adanya dasar-dasar lintas-budaya bagi HAM. Untuk memantapkan landasan yang tepat untuk menyelidiki problem-problem yang berhubungan dengannya, kita harus menempatkan HAM dalam dunia kita ang mengglobal namun sekaligus terfragmentasi secara cultural. Untuk memajami ini, penting menarik garis pembeda antara sisitem internasional dan masyarakat internasional. Almarhum Hedley Bull, yang getol menggeluti isu ini, mendefinisikan system internasional Negara-negara sebagai suatu system interaksi diantara unit-unit yang terorganisir sebagai Negara-negara brdaulat. Namun, disisi lain, masyaraat internasional hanya “ada ketika sekelompok Negara, yang sadar akan adanya kepentingan tertentu dan nilai-nilai yang sama, membentuk suatu masyarakat dalam pengertian bahwa mereka memahami diri mereka sendiri terikat oleh serangkaian aturan yang sama dalam hubungan mereka satu sama lainnya … sebuah masyarakat internasional dalam perngertian ini mengandaikan adanya sebuah system internasional. Tetapi sebuah sistm internasional bias hadir namun tidak merupakan sebuah masyarakat internasional” . Apakah kita punya masyarakat internasional semacam itu dalam kaitannya dengan HAM?
Merupakan fakta bahwa nilai dan aturan bersama yang berlaku dalam masyarakat internasional sekarang, di mana Deklarasi Universal HAM merupakan bagiannya, berasal mula dari Eropa. Gelombang mutakhir gerakan penegasan diri secaa cultural di negeri-negeri non-Barat ditandai oleh sebuah gambaran Bul diistilahkan sebagai “pemberontakan Dunia ketiga melawan Barat” . Fundamentalisme Islam merupakan fenomena yang sangat kaya ragamnya. Dalam wilayah hokum internasional,orang dapat mengamati kemarahan yang sangat besar terhadap Barat, di samping kenyataan bahwa kebanyakan negeri Dunia ketiga mengikuti, walaupun tidak sepenuh hati, norma-norma hokum internasional. Michael Akehuhurst benar ketika mengatakan : “Negara-negara Dunia Ketiga sering merasa bahwa hokum internasional mengorbankan kepentingan mereka demi kepentingan Negara-negara Barat” . Benar, sebagian Negara Barat, di samping kenyataan bahwa kebanyakan negeri Dunia Ketiga, terutama Amerika Serikat, telah mengekxploitasi hokum HAM internasional “untuk tujuan-tujuan propaganda perang dingin ”, sebagaimana dinyatakan Richard Falk dari Princeton. Benar pula, Amerika Serikat dalam kebijakan mereka yang berorientasi raison d’etat kebanyakan bertindak sebagai “ sumber pelanggaran HAM bukan sebagai pemimpin dunia berjuang untuk mengahapuskan pelanggaran tersebut” . Namun, sangat keliru menyimpulkan dari pengamatan akurat ini tanpa penalaran lebih jauh, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan fundamentalis Muslim, bahwa konsep HAM itu sendiri dapat dipertanyakan. Ada kebutuhan yang sangat besar untuk membangun dasar-dasar lintas-budaya bagi HAM, sembari membebaskannya dari penyalahgunaan kebijakan. Untuk alas an inilah hak-hak tersebut didiskusikan di atas dasar metodologis yang tepat, di dalam kerangka disiplin ilmu hubungan internasional.
Salah satu problem bagi para peminta kepada kajian HAM adalah bahwa kebanyakan ilmuwan hubungan internasional membatasi analisis mereka pada hal-hal yang berkaitan dengan isu keamanan politik dan ekonomi global. Namun, mereka yang peduli kepada pembangunan dasar-dasar lintas-budaya dan norma-norma serta nilai yang diterima secara universal, seperti HAM, tahu bahwa system internasional membawa orang-orang yang berpandangan cultural yang berbeda-beda kedalam konflik. Sebabnya adalah karena tiadak adanya consensus substantive (yakni, diam-diam” dalam pengertian Hart) yang bersifat umum mengenai norma dan nilai bagi interaksi diantara bangsa-bangsa. Dengan demikian, para ilmuwan itu menyadari kebutuhan akan analisis budaya dalam hubungan – hubungan Internasional. Sementara ada kebutuhan akan kesatuan standar HAM pada level internasional, implementas hak – hak ini terjadi dalam konteks yang multicultural yang harus dijadikan pertimbangan. Abdullahi Ahmed An-Na’im adalah seorang ilmuwan Hukum Islam yang unik, yang secara berimbang menekankan identitas Islamnya dan penganutannya kepada standar HAMinternasional, sehingga menggarisbawahi saling keterkaitan antara kekhasan kebudayaan Islam dan globalisasi standar HAM dalam dunia kita sekarang. An-Na’im menyadari bahwa konsep HAM individual modern berasal dari Eropa dan mengakui konflik antara seruan kepada penerapan hokum Islam dan standar HAM yang telah diiterima secara universal. Ketika menyoroti “independensi budaya” di dalam dunia kita sekarang, An – Na’Im menganggap pemberlakuan HAM di dunia Muslim sekarang sebagai suatu “ kepedulian yang sah dari seluruh umat manusia”, sehingga tidak hanya menjadi urusan kaum Muslim sendiri, walaupun mereka merupakan sasaran utama bukunya tersebut. Benar, hanya kaum Muslim yang dapat berjuang dan menunaikan tugas sangat mendesak yang disebut An-Na’imsebagai “melakukan pembaruan drastic atas hokum Islam”. Namun, pelanggaran HAM di dunia Muslim harus dikutuk dan dipersoalkan secara internasional, karena “umat manusia tidak dapat lagi melepaskan tanggung jawab atas nasib manusia di bagian dunia mana pun” (Ibid.). Fokus paper ini adalah dimensi globl hokum dan isu HAM yang muncul karena ketidaksesuaiannya dengan Syari’ah Islam pada periode sejarah kita sekarang, ketika kaum fundamentalis Muslim menyerukan penerapan hokum Syari’ah sebagaimana adanya, yang ditentang An-Na’im.

Islam dan HAM
Fragmentasi Kultural versus Globalisasi
Seperti diungkapkan sebelumnya, dunia kita sekarang ditandai oleh globalisasi pada semua level structural. Namun, globalisasi ini tidak berlaku pad lapangan cultural, yakni dalam hal norma dan nilai.Globalisasi struktur – struktur tidak diikuti dengan standarisasi normative yang sesuai. Dalam analisis, dua level yang berbeda ini tak boleh dikacaukan. Masuk akal mengatakan bahwa kerangka legal bersama diperlukan untuk membangun suatu topangan legal yang kukuh bagi tata dunia yang dibangun di atas dasar bersama yang membuat hidup di bawah kondisi globalisasi dapat dipertahankan. Namun, kerangka legal itu didasarkan atas globalisasi structural yang hadir bersamaan dengan fragmentasi cultural, ada kebutuhan mendesak untuk membangun kerangka legal yang dianut secara global mengenai daar – dasar lintas budaya. Pertanyaannya adalah bagaimana mencapai tujuan ini di samping adanya keragaman budaya yang berlaku, yakni di samping fakta bahwa system internasional bukan sebuah masyarakat internasional. Globalisasi selama ini tidak memberikan sumbangan bagi munculnya sebuah kebudayaan dunia. Terutama di dalam ranah legal HAM, semakin mendesak untuk mempertimbangkan secara serius mengenai isu – isu yang membawa kemelut ini. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk melampaui pengutukan – pengutukan retorik terhadap Pelanggaran HAM di masyarakat – masyarakat non-Barat sebagaimana yang selama ini sering dilakukan dan mengarahkan perhatian kepada substansi pola – pola budaya yang member landasan dan menopang pelanggaran – pelanggaran tersebut.
Mengingat konsep HAM berasal dari Barat, meski klaim etik dan legalnya bersifat universal, pertanyaan yang paling mengemuka adalah : apakah konsep ini dapat dimapankan secara legal diatas landasan yang bersifat lintas – budaya, sehingga dapat diterima kaum Muslim. Satu rintangan mendasar adalah kenyataan bahwa budaya – budaya non – Barat secara politik bermusuhan dengan Barat. Dorongan politik seringkali disembunyikan di balik sebuah klaim mengenai otentitas. Dalam kenyataannya, tidak ada diskusi serius mengenai kepedulian kepada HAM di Dunia Ketiga yang dapat dilanjutkan tanpa menempatkan pertanyaan ini diawal perdebatan.Pertanyaan ini mengarah kepada isu – isu kompleks yang telah saya singgung di pembahasan awal tulisan ini. Masalah HAM menjadi isu yang sulit ketika pengakuan akan klaim secular dan etik-universalnya dihubungkan dengan kasus kebudayaan non-Barat yang menonjol, yakni Islam dan konsep serta kerangka legalnya.
An-Na’im tidak mengelak dari dilemma ini. Dia bergerak dengan premis bahwa Islam pada substansinya sejalan dengan norma – norma legal HAM Barat jika diinterprestasikan secara tepat. Untuk mendukung maksud ini, dia merujuk kepada, secara garis besar, keluwesan Islam dan kemampuannya mengakomodasikan berbagai interpretasi, baik yang mendukung HAM maupun sebaliknya. Secara khusus, dia menunjuk kepada karya pembaru hokum Sudan, Mahmoud Mohammed Taha, dimana dia menemukan penerimaan Islam atas HAM sekaligus pemahaman liberal terhadap Islam. Namun, dia menyadari kecenderungan arus balik umum yang melanda “ dunia Islam”. Kecenderungan ini bergerak berbenturan dengan upaya normative An-Na’im untuk melihat kesesuaian (compability) Islam dan HAM. Di samping minoritas Muslim yang menerima HAM seutuh substansinya, menyedihkan menyaksikan bahwa mayoritas muslim terbelah. Sebagian, secara terbuka menolak konsep HAM, sebagai konsep Barat yang asing bagi, atau sebagai konspirasi melawan, Islam. Sebagian lainnya berusaha membangun skema HAM khas Islam di dalam kerangka ideologis yang tidak mengakui pembaruan hokum Islam.
Sebagian penulis Barat berusaha tidak mengkritik Ilam kontemporer untuk mengelak dari kesalahan yang dihuungkan dengan makian yang dilancarkan terhadap “orientalisme”. Namun, ilmuwan sejati dan jujur, terlepas dari simpatinya kepada Islam yang tercerahkan, harus menyatakan bahwa upaya – upaya Islam ini menyembunyikan kesenjangan – kesenjangan serius antara skema HAM Islam dan HAM Internasional. Perbedaan antara kalangan Muslim yang menolak norma legal HAM sebagai Barat dan mereka yang berusaha membangun skema HAM Islam bukanlah perbedaan antara sekelompok orang yang membenci hak – hak tersebut dan kelompok lain yang menganutnya. Keduanya tidak menguntungkan bagi subtansi HAM. Permusuhan Islam politik vis-à-vis HAM substantive merupakan indikasi dari polarisasi proses fragmentasi budaya yang disoroti di sini. Dalam bukunya tentang Islam dan HAM, Ann E.Mayer member tahu kita bahwa para penulis Islam yang sedang berupaya membangun skema HAM Islam yang khas “enggan untuk mengakui secara terbuka bahwa criteria Islam, yang muncul kemudian, mengambil titik berangkatnya dari norma – norma hokum internasional”.
Seperti dalam kasus budaya – budaya non-Barat lainnya—yang dikonfrontasi dengan nilai dan norma modernitas cultural yang bersifat universal, pada satu sisi, dan dengan dominasi Barat dalam bidang politik dan ekonomi, di sisi lain – dapat diamati bahwa dalam Islam pun sikap – sikap anti-Barat sudah menjadi cirri khas mereka. Dalam konteks ini saya telah menggunakan istilah “sikap budaya defensive”. Untuk memahami lebih baik kecenderungan menyeluruh di masyarakat – masyarakat Dunia Ketiga ini, termasuk masyarakat Muslim, penting memasukkan gagasan kebudayaan ke dalam kedua disiplin terkait : Hukum Internasional dan Hubungan Internasional, karena konsep HAM bersifat legal sekaligus cultural. Kaitan antara hubungan internasional dan klaim atas validitas universal dari standar hokum HAM Internasional dalam pengertian lintas – budaya didasarkan atas prinsip – prinsip keadilan kosmopilitan “yang cenderung mengungkapkan diri dalam kaitannya dengan gagasan HAM yang dilindungi secara internasional. Gagasan mengenai HAM secara langsung mengikuti cita – cita akan sebuah komunitas manusia universal”. Dalam mempertimbangkan pandangan ini – sembari melampaui konsep – konsp kaku dalam studi hokum internasional dan juga melampaui perhatian yang dominan dalam studi hubungan internasional (yang memusatan perhatian secara ekslusif kepada ekonomi, politik, atau keamanan politik, dan militer), konsep budaya menjadi sangat penting dalam rangkai menguraikam apa yang disoroti di depan, yakni keserempakan globalisasi structural dan fragmentasi cultural di dunia kita sekarang. Yang mendasari tangkisan terhadap klaim universal norma hokum dan nilai yang sesuai dengan globalisasi (yakni hokum internasioanl) adalah proses yang oleh Hedley Bull diistilahkan sebagai “pemberontakan melawan Barat” (lihat catatan no.17). Memang benar, komunikasi antar budaya, yang tidak menjadi sasaran perhatian kebijakan (lihat catatan no. 20 dan 21), dapat memberikan sumbangan untuk mengatasi kendala – kendala yang berkaitan dengan budaya ini.
Namun, peminat studi HAM yang tidak akrab dengan perdebatan ini menyatakan kekuasaan politik dan cultural dari nasionalisme cultural yang ada dan kekecewaan terhadap dominasi cultural oleh Barat sebagai kendalanya. Problemnya disini adalah bahwa kekecewaan terhadap nilai – nilai dan norma hokum Barat tidak dapat dibatasi kepada kekecewaan terhadap dominasi politik Barat. Hal ini juga berhubungan dengan perbedaan substansial antara budaya industrial modern dan nilai serta norma pramodern masyarakat non- Barat. Dengan kata lain: hal ini berkaitan dengan politisasi atas fragmentasi cultural yang berlangsung. Perbedaan cultural ini mungkin menerangkan sebagian kebencian kaum Muslim terhadap HAM. Pada titik ini, penting menyimpulkan dari pengamatan – pengamatan di atas apa yang diperlukan bagi kaum Muslim jika mereka akan sepenuhnya menganut standar hokum HAM internasional. Ini juga merupakan pendorong utama pencarian An-Na’im yang dikutip di atas. Terlepas dari kebutuhan mendesak akan pembaruan hokum dalam islam, kalangan uslim secara mendesak perlu membedakan antara dominasi Barat dan Universalitas satndar hokum HAM internasional. Adalah mungkin mengkritik satu aspek ( yakni, peran hegemonic) sembari menerima aspek yang lain (capaian-capaian modernitas cultural). Standar hokum HAM harus didasarkan atas norma legal dan nilai ektik universal dan tidak boleh dikacaukan dengan kekuasaan politik dan peran hegemonic. Pernyataan ini tidak dapat dipertanyakan, walaupun ada kritik atas standar ganda yang, diketahu banyak orang, dipakai pemerintah Barat (lihat catatan no.20 dan 21). Dalam pemakaian mereka yang serinkali sangat selektif atas isu-isu HAM, pemerintah-pemerintah Barat sangat merugikan bagi tujuan HAM yang konon sedang mereka bela. Kenyataan bahwa universalitas HAM yang diinginkan tidak diperkuat oleh budaya dunia yang sejaan, yang dianut seluruh umat manusia, menyongkong gagasan untuk meletakkan universalitas ini diatas dasar-dasar yang bersifat linta-budaya.

Modernitas Kultural dan Sistem Kultural Islam dalam Kaitannya dengan Ham
Jika kaum Muslim akanmenganut standar-standar hokum HAM internasional, mereka perlu mencapai pembaruan keagamaan-kultural dalam islam sebagai system budaya dan system hokum, jika tidak sebagai system keyakinan. Dalam pandangan saya, Islam merupakan system budaya yang khas dimana kesatuan kolektif, bukan individu, terletak di pusat pandangan dunianya. Konsep HAM, sebagaimana secara tepat ditekankan Mayer, adalah bersifat “individualistic” dalam pengertian bahwa “ia pada keseluruhan”. Yang disebut Mayer sebagai “bagian adalah individu yang hidup dalam suatu masarakat sipil dan “keseluruhan” adalah Negara sebagai strktur politik menyeluruh. Pembedaan semacam ini tidak dikenal dalam Islam. Dalam doktrin Islam, indiidu secara cultural dipahami sebagai satu cabang dari suatu koleltifitas, yakni ummah (komunitas orang beriman). Lebi jauh, hak-hak individualististik itu adalah sesuatu yangmenjadi milik dan berbeda dengan kewajiban. Dalam Islam, kaum Muslim, sebagai orang-orang beriman, mempunyai kewajiban-kewajiban (fara’idl) vis-à-vis ummah, tetapi tidak ada hak-hak individual dalam pengertian hak yang dimiliki. Karena itu, untuk memantapkan HAM sebagai hak-hak yang dimiliki secara individual perlu memperkenalkan konsep tentang hak dan memisahkannya dari konsep tentang kewajiban. Untuk mencapai ini, pembaruan keagamaan-kultural drastic diperlukan, dan bukan hanya sekedar akomodasi kepada modernitas kultural dalam islam. Dalam kenyataannya, modernist cultural merupakan bagia inheran dalam kosep hak-hak individu, dalam pengertian bahwa ia memperkenalkan prinsip subyektifas yang menopang proses-proses individuasi.
Dengan mengikuti tuntutan-tuntutan yang dibicarakan diatas, dalam rangka pemantapan tradisi HAM dalam islam, system cultural ini dapat diselaraskan dengan hokum HAM internasional sebagai sebuah kerangka universal. Upaya-upaya yang diperjuangkan oleh para ulama terkemuka (seperti almarhum Maududi), institusi-institusi (seperti Al-Azhar) dan gerakan-gerakan-gerakan (seperti Islamic Council yang berkedudukan di London yang bertanggung jawab menyusun “Deklarasi HAM universal Islam”) belakangan ini dipandang sebagai sumbangan penting Islam dalam memantapkan skema HAM di dalam Islam. Pengamatan lebih dekat kepada upaya-upaya ini menunjukan realisasi yang mengecawakan dan merugikan. Program islamisasi yang didukung oleh para pendukung skema HAM Islam tidak mau mengakui, bukannya mengikuti, standar-standar hokum HAM internasional. Dalam analisisnya mengenai upaya-upaya tersebut, ahli hokum Ann E. Mayer menyimpulka bahwa “Skema Islam tidak menawarkan perlindungan bagi apa yang dianggap hokum internasional sebagai hak-hak asasi”. Mayer juga menemukan bahwa para ulama yang berwenang membicarakan HAM “tidak benar-benar menguasai kandungan substansial HAM”. Kesimpulan ini didukung oleh analisis substansial atas dokumen-dokumen pennting Islam mengenai HAM. Yang diperselisihkan adalah konflik antara standar-standar hokum HAM internasional dan apa yang dikonsepkan seb SkemaHAM Islam. Dalam terminology saya: pertentangan mendasar antara modernitas cultural dan doktrin-doktrin pra-modern (lihat catatan no.27,29, dan 34). Diantara unsure-unsur konflik ini adalah pembatasan terhadap individu dalam modernitas cultural. Para penulis Muslim tidak melihat hubungan individu dan Negara sebagai cabang dari sebuah kolektifitas organic. Diskriminasi terhadap perempuan dan non-Muslim benar-benar tidak dapat diterima oleh standar hokum HAM internasional, tetapi merupakan hal biasa di dalam Islam. Disamping itu program-program islamisasi menurunkan deraja kaum penganut agama minoritas menjadi warga Negara kelas dua. Skema HAM Islam bersifat “mengelak dalam masalah perlindungan bagi kebebasan beragama … dan juga kelas menunjukan kurang simpati kepada ide mengenai kebebasan beragama”.
Singkat kata, orang tidak dapat merasa pasti apakah skema HAM Islam didasarkan atas suatu doktrin pra-modern untuk di alamatan kepada HAM universal ataukah berbicara tentang hak-hak kaum Muslim dalam pengertian kewajiban-kewajiban kaum beriman. Ia ambivalen tentang HAM dan menjadi apologenetik ketika, berlawanan dengan semua bukti sejarah, merek mengaku bahwa Islam adalah yang paling awal menegakkan HAM, sembari menentang asal-usul Barat konsep tersebut dalam skema mereka yang meniadakan substansi hak-hak individu.
Islam dan Ham:
Antara Peradaban Global dan Budaya-budaya Lokal
Pada bagian ini saya ingin memusatkan perhatian kepada beberapa pertanyaan spesifik setelah secara garis besar membahas struktur dan concern utama dari sebuah penelusuran mengenai Islam dan HAM. Pertanyaan pertama adalah apakah dapat dibenarkan menilai system budaya Islma non-Barat dengan standar-standar yang berasal dari budaya Barat, seperti halnya hokum HAM internasional yang dianggap oleh para ahli Hubungan Internasional sebagai jantung peradaban global. Hemat saya, pengetahuan ilmiah itu valid secara universal dan tidak terbatas pada suatu budaya spesifik. Saya tidak setuju dengan pendekatan antropologisasi-kultural mutakhir terhadap pengetahuan yang mengesampingkan konsep pengetahuan ilmiah-universal. Dengan demikian bahwa sains Barat modern merupakan satu-satunya standar yang valid secara universal yang pernah dikenal umat manusia.dari sini saya menyimpulkan, dapat dibenarkan menilai Islam dalam term-term yang berasal dari modernitas kultural.
Jika premis bahwa standar HAM internasional harus dimantapkan dalam Islam itu valid, maka pertanyaan kedua berhubungan dengan kendala-kendala yang menghadang penerapnya, atau lebih tepatnya: menghadang pada saat berlangsungnya akomodasi cultural terhadap modernitas cultural oleh kaum Muslim. Sudah menjdai kearifan tradisional melihat pelanggaran-pelanggaran HAM sebagai akibat dari regim-regim reprensif, yaitu sebagai sesuatu yang pada dasarnya bersifat politik. Dengan kata lain, kendala-kendala cultural, kalu tidak dianggap remeh, tidak dihargai sebagaimana sepantasnya dalam analisis. Mengingat demokrasi adalah suau budaya poltik yang telah berkembang di Barat, tepatlah mencatat bahwa budaya ini masih belum menjadi universal. Berpikir dalam term-term Barat member andil kepada pelecehan standar-standar cultural yang bertentangan dalam masyarakat non-Barat di mana ilai-nilai demokrasi tidak di hormati. Last but not least, pertanyaan yang harus dimunculkan adalah: apa yang harus dilakukan agar kaum Muslim berbicara bahasa HAM menurut lidah mereka sendiri? Dalam sebuah tulisan yang diterbitkan dalam rangka sebuah kajian komparatif baru-baru ini saya telah menganjurkan dilakukanya kajian mendalam menganie masalah ini. Berikutnya, saya ingin mencari tahu dalam cara apa pertanyaan-pertanyaan ini dapat dialamatkan untuk mendiskusikan perbaikan yang harus ditetapkan untuk menanggulangi kekurangan-kekurangan Islam dan standar-standar hokum HAM internasional di dalam Islam dan standar hokum HAM internasional di dalam system hubungan internasional sekarang. Peradaban global dipadang sebagai upaya lintas-budaya yang mendukung transformasi system internasional menjadi masyarakat internasional ( dalam pengertian Bull, lihat catatan no.16), dan arena itu,mengatasi rintangan-rintangan budaya lokal dalam menetapkan HAM global.
Perubahan ini didasarkan pada pengamatan bahwa sekelompok perumus skema HAM Islam menetapkan ketentuan-ketentuan hak yang tidak memadai dilihat dari standar HAM internasional. Hemat saya, kegagalan memenuhi standar HAM intemasionai itu tidak disebabkan semata-mata sebagai akibat kegagalan manusiawi perumusnya dalam menafsirkan tunfutan-tuntutan Islam. Karena alasan ini, saya sangat tidak setuju dengan pandangan Ann E. Mayer bahwa "tiang pancang dalam perjuangan HAM pada puncaknya bersifat politik". Saya ingin menguji pandangan ini atas dasar bahwa secara definitif ada kendala-kendala budaya dalam memantapkan standar-stardar HAM di dalam masyarakat Muslim. Kendala tersebut berhubungan dengan konflik antara budaya-budaya lokal dan peradaban global yang sedang merebak.
Pertama-tama, globalisasi dunia kita sekarang agaknya berkaitan dengan proses yang diistilahkan Norbert Elias sebagai "Proses pemberadaban (the ciailizing process)". Dalam konteks ini, pertanyaan yang muncui, apakah budaya-budaya lokal dapat diperlakukan sebagai sebuah pulau terpencil dari lingkungan globalnya. Di samping ada karakter khas dalam budaya-budaya lokal, pastilah terdapat berbagai dasar pembandingan yang membantu menarik kesimpulan-kesimpulan umum yang valid untuk seluruh umat manusia. Kebutuhan akan norma-norma, nilai dan prosedur yang dapat diterima secara umriln untuk menyelesaikan konflik di kalangan bangsa-bangsa memperkuat keperluan untuk melampaui kerangka-kerangka spesifik yang membatasi kajian mengenai budaya-budaya lokal. Tidak ada yang dapat membantah keperluan ini di dalam wilayah HAM, sembari mempertahankan standar moralitas dan hukum yang dapat diterima. Para antropolog dan ahli kajian wilayah yang disibukkan dengan kekhasan budaya (cultural specifity) nampaknya gagal mengembangkan pemahaman yang tepat mengenai isu-isu yang disoroti di atas. Terutama dalam kajian Timur Tengah, kritik terhadap orientalisme, yang nampaknya pemiliki dasar-dasar yang dapat dibenarkan di luar wilayah perdebatan tersebut, sekarang telah menjadi konsep kabur yang hanya membuang-buang waktu' Dlihat dari konsep orientalisme ini tidak ada kritik -baik terhadap regim despotik yang mengendalikan Timur Tengah ataupun terhadap pandangan dunia Islam pra-modem-- yang dapat lolos tanpa dituding sebagai orientalisme. Bidang HAM bukanlah kekecualian. Kenyataarurya, mereka yang dianggaP Penganut atau terpengaruh orientalisme mengklaim bahwa "Timur" berbeda dari lJarat. Ann E. Mayer mengemukakan bahwa kritik terhadap orientalisme tersebut dalam wilayah HAM jatuh ke dalam skema yang sama, yakni menerima pandangan dasar --yang pada dasamya orientalis-- bahwa konsep-konsep dan kategori yang dipakai di Barat untuk memahami masyarakat dan budaya itu tidak relevan dan tidak dapat diterapkan di Timur. Orang-orang Timur Tengah sendiri juga mengutuk pembandingan-pembandingan kritis dan meyakini bahwa di dalamnya terdapat "tujuan-tujuan politik yang jahat". Dalam pandangan saya, Pengabaian terhadap kedua kelompok ini dan juga terhadap mazhab relatifisme kultural dalam antropologi budaya memang tepat dan benar adanya. Dengan kata lain, pembandingan atas dasar-dasar yang bersifat universal, sebagaimana dalam hal hukum HAM intemasional, dapat diterima
dan harus diakui. Globalisasi struktural dalam hubunganhubungan intemasional mendorong dilakukannya pembandingan ini dan mempertanyakan semua konsep relatifisme kultural, khususnya penerapannya dalam kajian HAM.
Dengan argumentasi ini, berbagai variasi dalam kaiian mengenai budaya Islam perlu dihormati. Asumsi bahwa ada standar kultural Islam yang monolitik jelas keliru secara kultural. Islam dapat ditemukan dalam keragaman budaya-budaya lokal. Narnun, sebuah generalisasi sapurata atas pengamatan ini akan rnengakibatkan seseorang meremehkan apa yang merupakan elemen dasar yang memang sama-sama dimiliki seluruh umat Islam, di samping keragaman kultural mereka. Dalam pandangan saya, para ilmuwan yang semata-mata menekankan keragaman Islam gagal melihat bahwa umat Islarn, baik yang berada di Timur Tengah, Asia Selatan ataupun Afrika hitam, memiliki sebuah pandangan dunia bersama yang benar-benar konsisten. Tanpa mempertimbangkan pandangan dunia ini, orang bisa gagal memahanri sepenuhnya kendala-kendala yang menghadang dalam upaya memapankan konsep HAM Barat di masyarakat-masyarakat norr- I3arat yang disebut masyarakat Islam. Kita tidak dapat begitu saja menganggap penekanan pada kewajiban-kewajiban dan penolakar- r terhadap konsep hak yang tak bisa dibatasi sebagai bagian dari upaya regim tidak demokratis yang melakukan program islamisasi. Masalahnya tidak sesederhana itu. Dalam sebuah artikel baru-baru ini, seorang pengarang Mesir memberitahu kita secara terus terarrg: "Sementara kalangan elit Arab hanya rnenganggap 'kembang bibir' (Iip serwice) kepada demokrasi, cita-cita demokrasi tampaknya sangat kurang mendapat perhatian dari public yang lebih luas ... Demokrasi sekarang bukanlah concern utama masyarakat Arab". Benar, regim-regim tidak demokratis di Tirnur Tengah ini memanfaatkan konsep kewajiban (fara-idl), tetapi mereka tidak menciptakannya.Konsep ini adalah konsep Islam, setua usia Islam itu sendiri dan merupakan bagian dari pandangan- dunia Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam. pandangan- dunia ini menjadi jelas ketika karakter individualistik dalam konsep HAM Barat diiajarkan (juxtaposed) dengarr warisan lslam pra-modern. Penolakan terhadap nilai individualistik inr rrrembuat umat Islam sulit menerima norma dan nilai yang berkiritan dengan hak-hak individu.Bagaimana mungkin sebuah kebudayaan di mana individu dipahami sebagai satu cabang dari satu kesatuan kultural-religius yang terdefinisikan secara organik,mengakui hak-hak individu tanpa mengalami perubahan radikal dalam pandangan-dunia yang sedang berlaku? fika orang gagal rnemperhatikan pertanyaan ini, maka tidak akan diperoleh pengetahuan yang memadai mengenai isu ini. Lagi pula, untuk menyatakan pendapat yang memihak kepada HAM individualistik, sebagai hak milik, tidaklah sama dengan mengangkat hak-hak ini ke Icvel universal dalam konsep rnoralitas. Hak-hak ini hanya dapat ciitegakkan dalam suatu budaya lokal atas dasar lintas-budaya. Namun, tidak adanva konsep kultural mengenai hak-hak di sebagian budaya lokal menielaskan tidak dikenalnya hak-hak itu di .lalam masyarakat yang terkait dengan budaya tersebut. Meruiukkannya kepada regim-regim opresif dan program Islamisasi mereka yang tidak demokratis, tanpa menjadikan seluruh sistem cultural sebagai sasaran pemeriksaan kritis, sama sekali tidak dapat membantu kita menjelaskan problem-problem yang sedang dihadapi.
Masuk akal, rnenyatakan bahwa para Perunus skema HAM Islam tidak mempunyai teori yang ielas mengenai pokok masalahnya. Namun, akses metodologis yang memadai ke dalam masalah- masalah yang ada tidak akan menjadi ialan keluar dari kekurangan Islam dalam hak-hak individu yang meniadi sorotan PaPer ini. Jika kita tidak mengangkat pertanyaan kenapa mayoritas sarrgat besar umat [slam menganut "metodologi yang tak memadai" irri (Mayer, lihat catatan no. 26) dan bersikap tidak acuh kepada pertanyaan-pernyataan metodologis awal ini, kita rnungkin akan punya kesan bahwa kursus-kursus mengenai metodologi dapat rrrerrgubah pandangan para perumus skema HAM Islam. Kenyataannya, pandangan dunia kosmologis yang berlaku di dalam sistern kultural Islamlah yang perlu diubah. Bukan masalah metodokrgis. Ini adalah problem budaya yang sedang berlaku dan Weltnnschmrung yang terkait sebagai suatu pola kultural di mana kolektifitas, bukan individu, dan kewajiban-kewaiiban, dan bukan hak-hak, berada pada peringkat tertinggi.
Penelitian ini saya tutup dengan asumsi bahwa suatu perdebatan mengenai "Islam dan resistensi budaya terhadap hak" di dalam konteks globalisasi struktural dan fragmentasi cultural yang secara garis besar dibahas di atas harus menjadi kerangka kerja kita dalam membangun landasan-landasan lintas-budaya bagi norma-norma dan nilai HAM atas dasar yang universalitas hukum dan politik. jika umat Islam tidak mengubah pandangan dunia mereka, serta pola dan sikap budaya yang terkait, maka konflik antara skema HAM Islam dan standar HAM intemasional akan terus berlangsung. Merujukkannya kepada resistensi cultural terhadap hak-hak individu akan membantu memahami konflik antara Islam dan standar hukum HAM internasional. Skema HAM Islam yang dikembangkan belakangan lebih menyembunyikan daripada menyingkapkan konflik tersebut. Skema ini mengaburkan ketidaksesu aian (incompatibility) konsep yang berorientasi kepada individu dan konsep yang berorientasi kepada kolektifitas dalam skema HAM Barat dan skema HAM Islam, dan mengaburkan batas-batas antara hak dan kewajiban. Lagi pula, untuk rnemahami ini kita harus membahas pandangan dunia yang mengakar dalam di kalangan umat Islam. Saya berpendirian, pandangan dunia Islam yang sedang berlaku merupakan akar kesulitan kultural Islam yang krusial dalam hubungannya dengan konsep HAM modern. Sambil lalu, Arur E. Mayer menyoroti prioritas para perumus HAM Islam: "mereka meletakkan wahyu di atas penalaran dan tidak seorang pun yang mendukung penalaran sebagai suatu sumber hukum". Justru di sinilah letak masalahnya. Yakni, konflik antara pandangan dunia yang berpusat kepada manusia dan yang berorintasi kepada Tuhan (theosentric) dan antara budaya-budaya yang terkait dengannya, yakni antara budaya modernitas dan budaya-budaya pra-modem, di mana Islam tradisional merupakan salah satunya. Hukum modem, yang mencakup hukum HAM, merupakan produk proyek kultural moder-nitas. Dengan kata lain, hukurn modem sudah rnenjadi produk clari pengembangan prinsip subyektifitas, yaitu pandangan dunia yang berpusat kepada manusia dan tiang-tiang penopang legal terkait yang menjamin kebebasan individu. HAM sebagai hak milik pribadi merupakan bagian dan bungkus modernitas kultural. "Pembaruan hukum Islam" -yang secara cemerlang dihadirkan An-Na'im sebagai "tujuan-tujuan fundamental" dari bukunya yang sangat berharga-- tidak dapat diialankan tanpa menghubungkannya dengan tuntutan normatif dan struktural mendasar dari modemitas kultural dan dengan pandangan dunia yang berkembang darinya. Ada "ketidaksesuaian antara Syaritah dan standar rnodem hubungan-hubungan internasional dan HAM" yang dengan penuh semangat berusaha diatasi oleh An-Na'irn melalui pembaruan hukum Islam yang dia canangkan. Ternyata, ketidaksesuaian ini, seperti ditekankan di atas, merupakan ketidaksesuaian antara pandangan dunia yang teosentris dan yang berpusat kepada manusia. Fragmentasi kultural dalam sistern hubungan internasional yang mengglobal secara struktural terkait dengan ketidaksesuaian pandangan dunia modemitas cultural dan budaya-budaya pra-modern. Politisasi fragmentasi cultural ini yang terjadi belakangan ini, memberi andil bagi menguatnya semua semua corak fundamentalisme keagamaan-kulfural. Dan hampir pasti tidak mendorong tegaknya hak-hak individu dalam budaya Islam. Hak-hak ini merupakan concern umat Islam, dan juga concern politik dunia. Peristiwa Rusdies harus dijadikan sebagai ilustrasi dan peringatan akan concern ganda ini.
READ MORE - Syari'ah, HAM dan Hukum Internasional

Optimasi Windows 7 untuk Meningkatkan Performa Komputer

Secanggih dan secepat apapun komputer Anda saat masih baru, seiring waktu tampaknya performanya semakin lama semakin berkurang. Komputer (atau laptop/notebook, netbook, dll) kesayangan Anda mungkin tidak secepat dulu lagi setelah menginstal puluhan program, memasang berbagai aplikasi antivirus dan antispyware, atau mendownload bermacam-macam file tidak penting dari internet.

Namun, apapun masalahnya, terdapat banyak cara untuk mempercepat Windows Anda dan meningkatkan performa komputer Anda kembali. Jika Anda menggunakan Wndows 7, berikut adalah langkah-langkah yang dapat Anda lakukan untuk mempercepat performa Windows 7.

Mengotimalkan Performa Windows 7

Menjalankan ‘Performance troubleshooter’
Hal pertama yang bisa Anda coba adalah menggunakan fitur performance troubleshooter pada Windows 7, yang dapat melacak dan memperbaiki performa Windows 7 secara otomatis. Fitur ini akan mengecek berbagai permasalahan yang mungkin dapat memperlambat performa komputer.

Untuk menjalankannya, klik tombol Start dan pilih Control Panel. Pada search box di control panel, ketik troubleshooter dan klik Troubleshooting. Pada bagian System and Security, pilih Check for performance issues.

Menghapus program yang tidak digunakan
Banyak produsen komputer/PC yang menyertakan berbagai program yang tidak Anda perlukan atau sama sekali tidak Anda inginkan. Bahkan terkadang program tersebut hanyalah versi trial atau limited, hanya agar Anda mencobanya dan kemudian tertarik untuk membeli full version program tersebut.

Jika Anda tidak menggunakan program tersebut (juga program-program lainnya yang telah Anda instal) dan membiarkannya dalam komputer Anda, hal tersebut akan memperlambat performa Windows dan komputer. Mengapa? Karena semua program di dalam komputer akan mengambil jatah dari memory, kapasitas disk, dan kekuatan prosesor komputer Anda.

Uninstall program-program tersebut di atas, agar tidak memakan resource komputer Anda. Beberapa program utility juga biasanya membutuhkan resource yang cukup besar. Anda mungkin tidak menyadarinya, karena prosesnya berlangsung pada background. Padahal fitur-fitur program tersebut juga terdapat dalam Windows 7, seperti disk cleanup, defragmenter, registry cleaner, dll. Sebaiknya Anda menghapus program utility yang hanya menawarkan fitur-fitur yang telah disediakan Windows Anda.

Optimasi windows 7 dan meningkatkan performa komputer

Batasi jumlah program yang berjalan otomatis saat startup
Banyak aplikasi yang didesain untuk berjalan secara otomatis bersamaan dengan saat Anda menyalakan komputer. Pengembang software biasanya mengatur beberapa fiturnya menjadi autorun secara default. Sebut saja program-program antivirus, utility software (Tune Up Utilities, CC Cleaner, PC Doctor, dll), softare untuk printer, dan masih banyak lainnya. Semua program tersebut secara otomatis berjalan dan aktif pada mode background, sehingga user terkadang tidak sadar akan aktivitas program tersebut.

Tentu saja Anda bisa mengatur program apa saja yang berjalan pada mode autorun. Misalnya saja, Anda bisa menonaktifkan fitur autorun dari printer-printer, yang saya yakin tidak terlalu Anda butuhkan. Apalagi Anda bisa mengaksesnya langsung saat ingin nge-print. Begitu juga untuk beberapa program lain yang kurang sering Anda gunakan. Toh, semua bisa dibuka melalui Start menu ataupun metode lainnya.

Untuk mengetahui program apa saja yang autorun di Windows, Anda bisa melihatnya di taskbar bagian paling kanan (notification area). Jangan lupa untuk klik tombol Show hidden icons agar tidak ada yang terlewatkan. Setelah itu, Anda bisa menentukan aplikasi apa saja yang bisa Anda hentikan fitur autorun-nya.

menonaktifkan fitur autorun

Jika Anda tidak mengetahui cara mengatur autorun pada Windows, Edutechnolife akan menuliskan tutorial khususnya di lain waktu.

Lakukan defragmentasi pada hardisk (disk defragment)
Fragmen-fragmen yang ada di hardisk membuat kerja hardisk menjadi sangat berat. Untuk itu, disarankan bagi Anda untuk men-defrag hardisk Anda setiap periode waktu tertentu. Defragmentasi hardisk akan meningkatkan performa komputer secara keseluruhan.

Untuk melakukannya, Anda dapat menggunakan fitur Disk Defragmenter yang ada di Windows Anda. Selengkapnya.

Menghapus junk-file pada hardisk
Pada hardisk Anda, khususnya drive tempat Anda menyimpan file-file sistem Windows, terdapat banyak file-file log dan temporary files yang bisa Anda bersihkan, agar membuat hardisk menjadi lebih lega dan meningkatkan performa Windows. Gunakan fitur Disk Cleanup yang terdapat pada Windows Anda.

Tidak menjalankan banyak program secara bersamaan
Apabila Anda adalah tipe user yang sering menjalankan 6-7 program sekaligus, sambil membuka banyak tab pada browser Anda, chatting dengan YM, plus mendengarkan musik, maka janganlah heran jika performa komputer Anda menjadi sangat lambat, bahkan menyebabkan komputer menjadi hang.

Pertimbangkan untuk menutup beberapa program dan tab browser yang tidak Anda gunakan. Anda tidak mungkin chatting sambil browsing internet dan menjalankan program Corel ataupun Ms. Office.

Juga, sebaiknya jangan gunakan lebih dari satu program antivirus dan program utility. Masing-masing satu program yang fungsinya sejenis sudahlah cukup. Karena program-program antivirus dan utility membutuhkan resource memory tersendiri, walaupun aktivitasnya berjalan pada background (tak terlihat).

Me-nonaktifkan fungsi visual effects
Jika komputer sudah mulai terasa lambat, Anda bisa meningkatkan kecepatannya dengan mematikan visual effects Windows. Penampilan memang selalu berbanding terbalik dengan kecepatan. Memang menyenangkan jika komputer menggunakan visual effects dan tidak mengganggu performa komputer. Jika komputer Anda termasuk high-quality, maka Anda tidak perlu untuk menonaktifkan fitur ini.

Cara menonaktifkan visual effects

Restart komputer secara teratur
Simpel. Restart komputer Anda secara berkala, setidaknya setiap beberapa hari sekali, khususnya jika Anda menggunakannya dalam jangka waktu yang lama. Merestart PC akan membersihkan memory dan memastikan semua servis yang berjalan akan berhenti bekerja.

Proses ini akan menutup semua software yang berjalan, baik itu yang tampak di taskbar maupun puluhan software lain yang berjalan pada mode background. Membiarkannya tetap berjalan dalam waktu lama malah dapat membuat program yang Anda jalankan tidak bekerja maksimal, karena berjalan pada memori rendah (low memory).

Bahkan, merestart komputer bisa memperbaiki beberapa trouble yang sangat susah untuk ditelusuri penyebabnya.

Menambah/upgrade memory
Diskusi tentang optimasi Windows selalu memberikan saran untuk menambah jumlah random access memory (RAM). Jika komputer Anda berjalan lambat menggunakan Windows 7, mungkin disebabkan oleh RAM yang kecil. Maka sebaiknya Anda menambah jumlah RAM untuk mendukung performanya.

Windows 7 dapat berjalan pada PC/laptop yang menggunakan RAM 1GB. Namun akan lebih baik Windows 7 Anda didukung oleh RAM 2GB atau lebih.

Mengecek keberadaan virus dan spyware
Jika komputer terasa lambat, mungkin saja diakibatkan oleh virus atau spayware yang telah menginfeksi sistemnya. Pertimbangkan untuk melakukan scanning terhadap virus dan spyware pada komputer Anda.

Beberapa virus dapat sangat memperlambat komputer Anda, karena mereka menggunakan resource dari komputer untuk menjalankan programnya. Aksi-aksinya seperti auto pop-up, autorun bersamaan dengan Windows, dan lain sebagainya juga sangat mengganggu aktivitas Anda di depan layar komputer.

Langkah terbaik adalah mencegah masuknya virus dan spyware setiap saat. Gunakan aplikasi antivirus yang selalu uptodate agar mereka tidak terlanjur menginfeksi sistem komputer Anda.
READ MORE - Optimasi Windows 7 untuk Meningkatkan Performa Komputer