HUKUM WARIS

HUKUM WARIS
A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar terjadinya pepecahan, bahkan pertumpahan darah antar sesama saudara atau kerabat dalam masalah memperebutkan harta waris. Sehubungan dengan hal itu, jauh sebelumnya Allah telah mempersiapkan dan memperciptakan tentang aturan-aturan membagi harta waris secara adil dan baik. Hamba Allah diwajibkan melaksanakan hukumNya dalam semua aspek kehidupan. Barang siapa membagi harta waris tidak sesuai dengan hukum Allah, Maka Allah menempatkan mereka dineraka selama-lamanya.
Firman Allah SWT.
       •      
Artinya : Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal (boleh) diambil ialah harta pustaka. Didalam Al-Qur’an dan Hadist telah diatur cara pembagian harta pusaka dengan seadil-adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaidah.
“Dan mereka janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jaan batil.”(Al-Baqarah : 188).
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa : 10).
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatya, dan bagi orang wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”(An-Nisa : 7)

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian mawaris?
2.    Apa sebab-sebab penghalang hubungan kewarisan?
3.    Siapakah ahli waris?
4.    Siapa saja golongan ahli waris laki-aki dan perempuan?
5.    Apa yang dimaksud Ashabu Furud?
6.    Bagaimana hukum pembagian warisan?
7.    Bagaimana metode pembagian warisan?

C.    Pembahasan
1.    Pengertian Mawaris
Kata mawaris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dimaknakan dengan mauruts) artinya “harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh pewarisnya”. Orang yang meninggalkan harta disebut muwarits. Sedangkan yang berhak menerima disebut warits. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS. An-Naml : 16.
   
Artinya:  Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud,
Maksudnya nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu pengetahuannya dan Kitab Zabur yang diturunkan kepadanya.
Mawaris juga juga disebt faraid. Bentuk jamak dari kata faraid, kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan atau menentukan.
Dengan demikian kata faraid atau faraidah artinya ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkannya, dan beberapa bagian yang dapat diterima oleh mereka.
Kewajiban belajar dan mengajar tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum (khususnya dalam keluarga) tidak jadi perselisihan. Perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ ketentuan dalam hubungan kekeluargaan dan muslimin.

2.    Sebab-Sebab Hubungan Kewarisan dan Penghalangnya
a.    Sebab-sebab menerima warisan
Dalam ketentuan hukum islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada 4 yaitu:
1)    Hubungan Kekerabatan (al-Qarabah)
Kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah dewasa. Islam tidak membedakan status hukum seseorang dalam pewarisan dari segi kekuatan fisiknya, tetapi semata-mata karena pertalian darah atau kekerabatan. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan harta ibu, bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
2)    Hubungan Pernikahan (al-Mushaharah)
Pernikahan dengan akad nikah yang sah, sehingga antara suami istri saling mewarisi. Sedangkan istri menerima warisan suaminya dengan sekedar akad nikah yang sah dengannya.
3)    Wala’ (Perwalian)
Yakni bagian harta waris disebabkan memerdekakan budak. Sehingga mendapatkan waris dari budak tersebut jika tidak mempuyai ahli waris pemilik bagian ashabah (sisa) atau pemilik bagian pasti (ashabul furud)
4)    Hubungan Islam
Orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam dengan jalan pusaka.
Sabda Rasulullah SAW :
“Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris”. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah SAW, jelas tidak menerima pusaka untuk diri beliau sendiri, tetapi beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umat islam.

b.    Halangan Untuk Menerima Warisan
Keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris tidak memperoleh warisan ialah :
1)    Hamba : Seorang hamba tidak mendapat pusaka dari sekalian keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih bersifat hamba. Firman Allah SWT.
“Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga.” An-Nahl 75
2)    Pembunuh : Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat pusaka dari keluarganya yang dibunuhnya itu. Sabda Rasulullah SAW:
“Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya.”Riwayat Nasai.
3)    Murtad : orang yang keluar dari agama Islam, tidak mendapat kuasa dari keluarganya yang masih tetap memeluk Islam dan sebaliknya ia pun tidak dipusakai oleh mereka yang masih beragama Islam.
4)    Orang tidak memeluk agama Islam (kafir yang berupa apapun kekafirannya) tidak berhak menerima pusaka dari keluarganya yang tidak memeluk agama Islam.

3.    Ahli Waris
Orang-orang yang boleh (mungkin) mendapat pusaka dari seorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak laki-laki, dan 10 dari pihak perempuan:
a)    Dari pihak laki-laki
b)    Anak laki-laki dari yang meninggal
c)    Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki dan terus kebawah asal pertaliannya masih terus laki-laki
d)    Bapak dari yang meniggal
e)    Datuk dari pihak bapak (bapak-bapak) dan terus keatas pertaliannya yang belum putus dari pihak bapak
f)    Saudara laki-laki seribu dan bapak
g)    Saudara laki-laki sebapa saja
h)    Saudara laki-laki seibu saja
i)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapa
j)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapa saja
k)    Saudara laki-laki dari bapa (paman) dari pihak pihak bapa yang seibu sebapak
l)    Saudara laki-laki dari bapa yang sebapa saja
m)    Anak laki-laki dari saudara bapa yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak
n)    Anak laki-laki dari saudra bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja
o)    Suami
p)    Laki-laki yang memerdekakan mayat
Jika 15 orang tersebut diatas semua ada, maka yang mendapat harta pusaka daripada mereka itu hanya 3 orang saja yaitu Bapak, Anak laki-laki, Suami.
1)     Dari pihak perempuan
a)    Anak perempuan
b)    Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah asal pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki-laki
c)    Ibu
d)    Ibu dari bapak
e)    Ibu dari ibu terus keatas pihak ibu sebelum berselang laki-laki
f)    Saudara perempuan yang seibu sebapak
g)    Saudara perempuan yang sebapa
h)    Saudara perempuan yang seibu
i)    Isteri
j)    Perempuan yang memerdekakan mayat
Jika 10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi daripada mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu:
a)    Isteri
b)    Anak perempuan
c)    Anak perempuan dari anak laki-laki
d)    Ibu
e)    Saudara perempuan yang seibu sebapak
Dan sekiranya 25 orang tersebut diatas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semua ada, maka yang tetap pasti mendapat hanya salah seorang dari dua laki isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Keterangan (alasan) satu persatuannya akan kita uraikan nanti sambil menerangkan nasib (bagian) satu persatunya. Anak yang ada dalam kandungan ibunya juga mendapat pusaka dari keluarganya yang meniggal dunia sewaktu ia masih dalam kandungan ibunya.
Sabda Rasulullah SAW:
“apabila menangis anak yang baru lahir ia mendapat pusaka.”riwayat Abu Daud.

4.    Golongan Ahli Waris Laki-Laki dan Perempuan
a.    Dzawil Furudh
Ialah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam, dalam membagi warisan ahli waris dzawil furudh harus didahulukan dari pada ahli waris ashobah/dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudh ialah suami, ayah,saudara laki-laki seibu, kakek dan seterusnya keatas, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, ibu dan nenek.
b.    Ashobah
Ashobah adalah ahli waris yang berhak menerima seluruh harta warisan setelah harta warisan dikeluarkan untuk ahli yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudh) dengan demikian ada yang mau menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya/ tidak menerima sama sekali karena telah diambil oleh dzawil furudh. Ashobah dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a)    Ashobah bin nafsi
Ashobah bin nafsi ialah ahli waris yang menjadi ashobah karena dirinya sendiri-sendiri, mereka itu adalah:
1)    Anak laki-laki
2)    Cucu laki-laki
3)    Ayah
4)    Kakek (dari pihak bapak) keatas
5)    Saudara laki-laki kandung
6)    Saudara laki-laki seayah
7)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9)    Saudara laki-laki ayah kandung
10)    Saudara laki-laki ayah seayah
11)    Anak laki-laki saudara laki-laki ayah kandung
12)    Anak laki-laki saudara laki-laki ayah seayah
13)    Orang laki-laki yang memerdekakan budak
b)    Ashobah bil ghoiri
Ashobah bil ghoiri ialah ahli waris yang menjadi ashobah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashobah, mereka itu adalah:
1)    Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
2)    Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
3)    Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
4)    Saudara perempuan seayah yang ditarik saudara laki-laki seayah.
c)    Ashobah ma’al ghoiri
Ashobah ma’al ghoiri ialah ahli waris yang menjadi ashobah karena bersama, mereka itu adalah:
1)    Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan laki-laki (seorang atau lebih)
2)    Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).

5.    Ashabul Furud dan bagian Ashobahnya
Ahli waris yang menerima bagian tertentu itulah yang disebut dengan ashab alfurudh, pada umumnya ahli waris ashab al furudh adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki menerima bagian sisa, kecuali bapak, kakek dan suami, bahkan mereka diperlakukan sebagaimana halnya barang, yang hanya bisa dimiliki, tetapi tidak dapat memiliki sesuatu. Adapun bagian-bagiannya yang diterima oleh ashab al furudh adalah:
a.    Anak perempuan, berhak menerima bagian:
1)    ½ jika seorang tidak bersama lanak laki-laki
2)    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama anak laki-laki
b.    Cucu perempuan, garis laki-laki, berhak menerima bagian:
1)    ½ jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki atau tidak terhalang (mahjub)
2)    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan cucu laki-laki dan tidak mahjub
3)    1/6 sebagian penyempurna 2/3, jika bersama seorang anak perempuan tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih maka tidak mendapat bagian.
c.    Ibu berhak menerima bagian :
1)    1/3 jika tidak anak atau cucu saudara dua orang atau lebih
2)    1/6 jika ada cucu atau bersama dua orang saudara atau lebih
3)    1/3 sisa dalam masalah gharrawin yaitu apabila ahli waris yang ada terdiri dari suami/isteri, ibu dan bapak.
d.    Bapak berhak menerima bagian :
1)    1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
2)    1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
e.    Jika bapak bersama ibu, maka :
1)    Masing-masing  menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih
2)    1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih
3)    1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami dan isteri
f.    Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1)    1/6 jika searang
2)    1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
g.    Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1)    1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki
2)    1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anak laki-laki.
3)    1/6 atau  muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil ahli waris lain
4)    1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain. Masalah ini disebut dengan masalah al-jadd ma’al al-ikhwah (kakek bersama saudara-saudara)
h.    Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub mendapat bagian:
1)    ½ jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
2)    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
i.    Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub mendapat bagian:
1)    ½ jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
2)    2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
3)    1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3 (takmilah li al-salusain)
j.    Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
1)    1/6 jika seorang
2)    1/3 jika dua orang atau lebih
3)    Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara kandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan masalah musyarakah
k.    Suami berhak menerima bagian:
1)    ½ jika istrinya meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
2)    ¼ jika istrinya yang meninggal mempunyai anak atau cucu
l.    Istri berhak menerima bagian:
1)    ¼ jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
2)    1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.

6.    Hukum Pembagian Warisan
Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh rasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan, karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dahulu sampai sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan Allah yang bersumber pada kitab suci al-Qur’an dan Hadist Rasulullah.

7.    Metode Pembagian warisan dan Contohnya
a.    Metode usul a-Masa’il dan cara penggunaannya
Langkah pertama yang harus ditempuh di dalam merumuskan asal masalah dalam pembagian warisan adalah meyeleksi:
1)    Siapa ahli waris yang termasuk zawi al-arham
2)    Siapa ahli waris yang termasuk ashab al furudh
3)    Siapa ahli waris yang termasuk ashab al- ashabah
4)    Siapa ahli waris yang mahjub
5)    Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing ashab al-furud
Dibawah ini akan dikemukakan contoh untuk memudahkan penentuan pembagian warisan. Apabila meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari:
1)    Suami
2)    2 anak perempuan
3)    Cucu perempuan garis perempuan
4)    Ibu
5)    3 saudara ibu
6)    Bapak
7)    Nenek garis ibu
8)    Anak laki-laki saudara seibu
9)    Paman
10)    Kakek
Dari seleksi yang dilakukan para seluruh ahli waris yang ada, dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk zawi al-arham adalah:
1)    Cucu perempuan garis perempuan
2)    Anak laki-laki saudara seibu
Setelah itu perlu diketahui siapa ahli waris ashab al-furud dan siapa ashab al ashobah, kemudian dicari yang mahjub.
Adapun ahli waris yang terhalang (mahjub) adalah:
1)    3 saudara seibu, terhalang oleh anak perempuan dan bapak
2)    Nenek garis ibu, terhalang oleh ibu dan bapak
3)    Paman, terhalang oleh ibu dan bapak
4)    Kakek, terhalang oleh bapak
Jadi ahli waris yang menerima bagian dan besarnya (ashabul al-furud al muqaddarah) adalah sebagai berikut:
1)    Suami ¼ (karena ada anak)
2)    2 anak perempuan 2/3 (karena dua orang)
3)    Ibu 1/6 (karena ada anak)
4)    Bapak 1/6+ashabah (karena bersama dengan anak perempuan)
Dalam menetapkan angka asal masalah, setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris, adalah mencari angka kelipatan persekutuan terkecil, yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris yang ada. Misalnya bagian ahli waris ½ dan 1/3. Angka asal misalnya 6. Angka ini dapat bagi 2 (6:2=3) dan dapat dibagi 3 (6:3=2).
Apabila bagian yang diterima ahli waris adalah 1/4 , 2/3 dan 1/6, maka asal masalahnya adalah 12. Angka 12 dapat dibagi 4 (12:4=3) juga dapat dibagi 3 (12:3=4) dapat dibagi 6 (12:6=2). Demikian juga apabila bagian yang mereka terima adalah 1/8 dan 2/3, maka angkaasal masalahnya 24 karena angka 24 adalah angka terkecil yang dapat dibagi 8 (24:8=3) dan dibagi 3 (24:3=8).
Yang dikemukakan terdahulu, bahwa furud al-muqaddarah adalah ½, 1/3, 1/4 , 1/6, 1/8 dan 2/3. Angka asal masalahnya yang dapat dirumuskan hanya ada tujuan angka, yaitu:
1)    Angka 2 (antara ½ dan ½)
2)    Angka 3 (antara 1/3 dan 2/3)
3)    Angka 4 (antara ½ dan ¼)
4)    Angka 6 (antara ½, 1/3, dan 2/3)
5)    Angka 8 (antara ½ dan 1/8)
6)    Angka 12 (1/2, 1/3, 1/4, dan 1/6)
7)    Angka 24 (antara 1/3, 1/6, 1/8 dan 2/3)

Contoh Pembagian Warisan
Seorang meninggal dunia, ahli warisannya seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta peninggalan sebanyak Rp. 1.200.0,- berapa bagian masing-masing?
Jawaban :
Anak perempuan         : ½ (karena tunggal)
Cucu perempuan         : 1/6 (karena ada seorang anak perempuan)
Suami                 : ¼ (karena ada anak)
Kakek                 : Ashobah (karena tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki dan bapak)
Asal masalahnya (KPK)     : 12
Anak perempuan         : ½ x 12 = 6
Cucu perempuan         : 1/6 x 12 = 2
Suami                 : ¼ x 12 + 3
Jumlah             : 11



D.    Simpulan
Ilmu mawaris atau disebut juga dengan ilmu faraid adal ilmu pengetahuan yang mempelajarinya tentang ketentuan-ketentuan harta bagi ahli waris. Sumber ilmu mawaris adalah al-Qur’an, sunnah Nabi, Ijma’ dan Ijtihad. Adapun sebab-sebab menerima warisan itu karena perkawinan, kekerabatan dan ashobah ushubah sababiyah. Pada umumnya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki menerima sisa, kecuali bapak, kakek dan suami. Bahkan mereka diperlakukan sebagaimana halnya bisa dimiliki, tetapi tidak dapat memiliki sesuatu.
Hukum warisa dalam Islam yaitu berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengelami perubahan, karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa.
Jadi, kita sebagai hamba Allah dalam pembagian harta pusaka, diwajibkan melaksanakan hukumNya dalam semua aspek kehidupan. Barang siapa membagi harta waris tidak sesuai dengan hukum Allah, maka Allah menempatkan mereka di neraka selama-lamanya. Sesuai dengan FirmanNya:
       •      
Artinya: Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S An Nisa : 14)
Dengan berpegang berdasarkan atas perintah Allah diatas berarti kita telah mempelajari ilmu faroid (ilmu pembagian warisan) dan semua hukum-hukumnya dengan benar. Dengan begitu berarti kita telah melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya. Sistem pewarisan menurut Islam adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil. Dengan begitu kita dapat berperinsip pada nilai keadilan yang sesungguhnya dan menghapuskan perbuatan aniaya (penindasan) terhadap manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Bil Qisthi, Aqis. 2005. Nilai Kefikihan : Wanita Beriman. Surabaya : Himmah Jaya.
Teungku, M. Hasbi Ash Shiddieqy. 1997.  Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
Rasjid Sulaiman. 2004. Fiqh Mawaris. Jakarta : Raja Grafindo
http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris
http://www.kosmaext2010.com/fiqh-mawaris-gharawai-musyarakah-akdariyah.php
http://www/scribd.com/doc/69290728/MAKALAH-Fiqh-Mawaris-II


Tidak ada komentar: