Wawasan Al-Qur'an Tentang Akhlak dan Etika

A. Pendahuluan
Istilah akhlak dan etika tidak bisa disamakan. Banyak orang yang beranggapan bahwa etika adalah bagian atau sinonim dari pada akhlak. Jika kita telaah akhlak lebih luas maknanya dari pada etika. Akhlak lebih bersifat batiniah (melekat di dalam jiwa manusia) dan mencakup berbagai aspek dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa). Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspeknya selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang lazim disebut akhlakul karimah. Kaum muslim mempunyai suriteladan dalam berakhlakul karimah. Nabi Muhammad SAW. merupakan orang yang berakhalakul karimah. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh ahmad, Baihaqi, dan Malik yang artinya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sedangkan etika hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah dan dibatasi pada aspek sopan santun antar sesama manusia. Etika diartikan sebagai watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Jika kita membahas tentang etika biasanya dikaitkan dengan kata moral. Yang juga diartikan sebagai adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Berdasarkan uraian di atas kami akan menguraikan lebih lanjut tentang wawasan al-qur’an tentang akhlak dan etika. Semoga dengan adanya pemaparan berikut dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kita dan bias dijadikan bahan referensi pengetahuan agama.

B. Pembahasan
1. Wawasan AL-Qur’an tentang Akhlak.
Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, agama, dan kemarahan (al-gadlab).
Kata akhlak dalam Al-Qur’an tidak disebutkan dalam bentuk tunggal, tetapi dalam bentuk jamak yaitu khuluq. Seperti pada Al-qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 137 yang berbunyi khuluq al-awwalin yang artinya adat istiadat orang-orang terdahulu; dan Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4 yang berbunyi wa innaka la’alaa khuluqi adziimin yang artinya sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.
Akhlak sebagai kelakuan manusia sangat beragam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Inna sa’yakum lasyttaa yang artinya sesungguhnya usaha kamu (hai manusia) pasti amat beragam. (QS. Al-Lail [92] : 4 )
Keanekaragaman akhlak dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan. Berikut ini adlah uraian mengenai akhlak ditinjau dari nilai kelakuan baik dan buruk serta sasaran akhlak (dilihat dari segi objeknya).
a. Baik dan Buruk.
Secara konkrit kita melihat bahwa ada manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya, ada yang berkelakuan buruk. Ini berarti bahwa manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk. Di antara ayat Al-Qur’an yang menguraikan hal ini adalah Al-Qur’an surat Al-Balad ayat 10 yang berbunyi:
Artinya : “Maka kami telah member petunujuk kepadanya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk).” (QS. Al-Balad [90]: 10).
dan Al-Qur’an surat Asy-Syam ayat 7-8 yang berbunyi :
Artinya : ”…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-8)
Walaupun demikian sejatinya fitrah manusia adalah kecenderungan untuk berbuat kebaikan. Hal ini terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Kalaupun terjadi perbedaan terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa Al-Qur’an. Tidak ada peradaban yang menganggap baik kebohongan, penipuan, atau keangkuhan. Pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang-tua adalah buruk. Hal ini sesuai denagn Al-Quran surat Al-Isra ayat 23-24 yang memerintahkan kepada seorang anak agar menghormati kedua orang tuanya, terlebih jika usia mereka sudah tua uzur, karena boleh jadi mereka akan melakukan hal-hal yang menjengkelkan). Anak dilarang berkata uf (cis), dan harus memilih kata-kata yang baik, sambil merendahkan diri kepada keduanya.
Kembali pada persoalan kecenderungan manusia untuk berbuat kebajikan, sebagian ulama menjadikan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286 sebagai bukti bahwa manusia tidak akan sulit melakukan kebajikan, berbeda halnya dengan melakukan keburukan. Firman Allah SWT:
Artinya : “Untuk manusia ganjaran bagi perbuatan baik yang dilakukannya dan sanksi bagi perbuatan (buruk) yang dilakukannya.”
Dalam terjemahan di atas terlihat bahwa kalimat "yang dilakukan" terulang dua kali: yang pertama adalah terjemahan dari kata kasabat dan kedua terjemahan dan kata iktasabat.
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar menyatakan kataiktasabat, dan semua kata yang berpatron demikian, member arti adanya semacam upaya sungguh-sungguh dari pelakunya, berbeda dengan kasabat yang berarti dilakukan dengan mudah tanpa pemaksaan. Dalam ayat di atas, perbuatan-perbuatan manusia yang buruk dinyatakan dengan iktasabat, sedangkan perbuatan yang baik dengan kasabat. Ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya cenderung kepada kebaikan, sehingga dapat melakukan kebaikan dengan mudah. Berbeda halnya dengan keburukan yang harus dilakukannya dengan susah payah dan keterpaksaan (ini tentu pada saat fitrah manusia masih berada dalam kesuciannya).
Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fitrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 dinyatakan bahwa:
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Al1ah). Itulah fithrah Allah yang telah menciptakan.” (QS. Ar-Rum [30]: 30)
Di sisi lain, karena kebajikan merupakan pilihan dasar manusia, kelak di hari kemudian pada saat pertanggungjawaban, sang manusia dihadapkan kepada dirinya sendiri:
Artinya: “Bacalah kitab amalmu (catatan perbuatanmu); cukuplah engkau sendiri yang melakukan perhitungan atas dirimu.” (QS Al-Isra' [17]: 14).
b. Sasaran Akhlak.
Sasaran akhlak Islamiyah meliputi:
1) Akhlak terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Oleh sebab itu Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah"al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Naml (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
Artinya: “Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. AN-Naml [27]: 93)
Artinya: “Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang terpilih.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 159-160).
Teramati bahwa semua makhluk kecuali nabi-nabi tertentu selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
Artinya: “Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka.” (QS. Asy-Syura [42]: 5).
Artinya: “Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya.” (QS. Ar-Ra'd [13]: 13).
Artinya: “Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya.” (QS. Al-Isra' [17]: 44).
Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka sebelum memuji-Nya bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Muzzammil ayat 9 yang Artinya: “(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil pelindung).” (QS. Al-MUzammil [73]: 9)
2) Akhlak terhadap Sesama Manusia.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
Yang Artinya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima).” (QS. Al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad SAW. misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, Al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin:
Artinya: “Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi(saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu (di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana (kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain...” (QS. Al-Hujurat [49]: 2).
Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (QS. An-Nur [24]: 63).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati.
Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur [24]: 27).
Dalam surat lain dijelaskan yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya ...” (QS. An-Nur [24): 58).
Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yang serupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik.” (QS. An-Nisa' [4]: 86)
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, Al-Quran memerintahkan, yang Artinya: “Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. A1-Baqarah [2]: 83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an yang Artinya: “Dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 70).
Akhlak terhadap sesama manusia juga meliputi akhlak terhadap orang tua, dan dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Israa’ : 23-24
Artinya: “Dan Tuhanmu menetapkan bahwa janganlah kamu menyembah melainkan kepadaNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika sampai salah seorang mereka itu atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu (berusia lanjut), maka janganlah engkau katakan kepada keduanya “ah”, dan janganlah engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya perkataan yang mulia. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, “Hai Tuhanku, kasihanilah keduanya, sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil”. ( QS. Al Isra’: 23-24)
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah, kita diharuskan untuk menyembah hanya kepadaNya. Kita dilarang berbuat yang tidak baik kepada orang tua, bahkan untuk berkata “ah” saja kita dilarang. Ada pepatah yang mengatakan Surga ada ditelapak kaki Ibu. Saat orang tua kita sudah berusia lanjut, mereka membutuhkan kita (sebagai anak) untuk merawat mereka dengan penuh kasih sayang seperti mereka saat merawat kita dari kecil hingga sekarang. Diwajibkan bagi kita untuk berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadaNya untuk kebahagian mereka di dunia maupun di akhirat.
Selain itu akhlak terhadap orang tua juga dijelaskan dalam surat Al Ahqaaf : 15
Artinya: “Dan Kami telah perintahkan manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan kepayahan dan melahirkannya dengan kepayahan (pula). Dia mengandungnya sampai masa menyapihnya tiga puluh bulan, sehingga apabila anak itu mencapai dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk supaya aku mensyukuri nikmatMu yang Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat mengerjakan amal saleh yang Engkau meridhainya, dan berilah kebaikan kepadaku (juga) pada keturunanku. Sesungguhnya aku taubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”.
Ayat ini juga menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang tua, karena suatu hari nanti kita pun akan menjadi orang tua yang mana akan memiliki keturunan, maka hendaknya kita bertaubat dan mensyukuri atas apa yang dianugerahkan Allah SWT pada kita dan selalu mengerjakan amal sholeh seperti yang telah di perintahkan Allah SWT. Serta tak lupa juga kita berdoa kepada-Nya, agar kita dan keturunan-keturunan kita selalu diberi kebaikan oleh Allah.
Pada kenyataannya, fenomena yang terjadi dimasyarakat pada zaman modern seperti sekarang ini, seringkali orang tua diperlakukan sebagai pembantu bukan diperlakukan selayaknya sebagai orang tua. Misalnya seorang anak yang sudah sukses dan berkeluarga biasanya anaknya dititipkan pada orang tuanya untuk mengasuh dan merawat anaknya dengan alasan mereka sibuk bekerja. Fenomena lain yang terjadi di masyarakat adalah perilaku anak yang berakhlak madzmumah, hal ini dapat diatasi dengan cara mengingatkan secara terus – menerus, mencari sebab mengapa anak tersebut berperilaku yang tidak baik, kemudian menentukan langkah – langkah yang sesuai dengan permasalahannya.

3) Akhlak terhadap Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semuamemiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar. Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an yang Artinya: “Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ...” (QS. Al-Hasyr [59]: 5).

2. Wawasan Al-Qur’an tentang Etika.
Dalam hal ini kami akan menguraikan etika pergaulan menurut Al-Qur’an. Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika, etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta berkaitan dengan tingkah laku lahiiriyah saja. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari etika. Sesuai dengan definisi dari etika itu sendiri yakni berkaitan dengan cara hidup seseorang. Kami mengambil ayat dari Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10-13 dalam memaparkan etika pergaulan ini. Allah SWT. Berfirman yang Artinya: “10.orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dalam ayat 10 Allah menggunakan kata اخوة bukan kata اخوان . Dari segi kandungan makna ternyata terdapat perbedaan arti antara keduanya, meskipun sama-sama merupakan bentuk jamak dari kata tunggal اخ. Kata اخوة menunjukan arti saudara sekandung[12]. Sedangkan اخوان berarti teman sejawat. Disini al-Qur’an menganggap persaudaraan dalam satu agama bagaikan persaudaraan dalam satu nasab, dan Islamlah sebagai orang tuanya.
Pada ayat 10 Allah menegaskan bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara. Meskipun berbeda bangsa, adat, warna kulit, bahasa, kedudukan, social-ekonomi, tetapi mereka itu satu ikatan persaudaraan islam. Oleh karennya sesama orang mukmin harus mempunyai jiwa persaudaraan yang kokoh sebagaimana diajarkan agamanya yaitu Islam.
Kandungan ayat 11 merupakan konsekuensi logis dari makna yang terkandung pada ayat 10. Pada ayat 10 orang mukmin itu bersaudara, maka konsekuensinya orang-orang mukmin tidak boleh saling mengolok-olok. Sebab boleh jadi orang-orang mukmin yang diperolok-olok itu lebih baik dari oarng yang mengolok-olok. Demikian juga orang mukminah.
Olok-olok disini dapat berupa ejekan atau perkataan, sindiran dan kelakar yang bersifat merendahkan diri atau menghinanya. Itu semua dapat menimbulkan pertengkaran atau perkelahian. Oleh karena itu Allah melarang orang-orang mukmin saling memperolok-olok yang lain agar terbina persaudaraan, kesatuan, persatuan dikalangan orang mukmin.
Pada ayat 11 juga orang mukmin dilarang mengolok-olok diri sendiri. Ahli tafsir menjelaskan mengolok-olok diri sendiri maksudnya mengolok sesama mukmin karan antara sesama muslim itu satu tubuh. Begitupun di ayat ini Allah melarang orang mukmin memanggil orang mukmin lain dengan panggilan atau sebutan yang buruk. Yaitu sebutan yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil atau digelarinya. Seperti memanggil orang beriman dengan panggilan “hai Fasik” atau “hai Kafir”. Dalam ayat ini Allah memperingatkan kepada orang yang berbuat kesalahan harus segera taubat.
Masih dalam kerangka membina persaudaraan orang-orang mukmin. Dalam ayat 12 Allah melarang orang-orang yang beriman cepat berperasangka. Sebab sebagian perasangka itu adalah dosa, karena itu harus di jauhi. Dalam ayat ini juga Allah melarang oarng mukmin mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, menceritakan keburukan orang lain (ghibah).Allah menggambarkan orang yang begitu bagaikan seseorang yang makan daging mentah, yang sebenarnya dia sendiri tidak menyukainya.
Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13 menegaskan kepada semua manusia bahwa ia diciptakan Allah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menciptakan manusia secara pluralistic, beraneka bangsa, suku, bahasa, budaya dan warna kulit. Keanekaragaman dan kemajemukan manusia seperti itu adalah bukan untuk berpecah belah, saling membanggakan kedudukan, yang satu lebih terhormat dari yang lainnya akan tetapi supaya saling mengenal, bersilaturahmi, berkomunikasi, saling member dan menerima. Suatu hal penting bahwa semua manusia itu sama di hadapan Allah, yang membedakan derajat mereka adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT.

C. Kesimpulan
Dari uraian di atas kami menyimpulkan bahwa :
1. Kedudukan akhlak dijadikan sebagai tolok ukur tingkat keberagamaan seseorang.
2. Etika pergaulan menurut Al-Qur’an erat kaitannya dengan sikap toleransi. Kita dianjurkan untuk bertoleransi kepada sesama manusia bahkan dengan orang berlainan akidah. Akan tetapi toleransi tersebut tidak berlaku jikalau menyangkut urusan agama.
3. Membina akhlak pada anak dapat dilakukan dengan cara menanamkan akhlak yang baik pada anak sejak usia dini agar selalu terbiasa dengan akhlak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 1994. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang
Departemen Agama RI. 2002. Ensiklopedi Islam. PT. Baru Van Hoeve Ichtiar
Quraish shihab, Muhammad. 2005.Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung: PT. MIzan Pustaka.

1 komentar:

ahya_raura mengatakan...

masyaAllah,,sy sudah membaca semuanya,,jazakumullah kheir, sangat bermanfaat tulisannya.