PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN DAN SEJARAH AL-QUR’AN
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad lewat perantara malaikat jibril sebagai mukjizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
“Dan kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. An-Nahl 89).
Mempelajari isi Al-Qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan persepektif baru dan selalu menemui hal-hal yang baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukkan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya. Firman Allah:
“Dan sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Al-A’raf 52).
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an.
Pada abad ke-3 lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat makkiah dan madaniah, qiraat, I’rab dan istimbath.
Pada abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an abad ke-5 lahir ilmu amtaal Qur’an, abad ke-6 disamping banyak ulama yang melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah ada lahir pula ilmu mubhat al-Qur’an ilmu ini menerangkan lafal-lafal al-Qur’an yang maksudnya apa dan siapa yang tidak jelas.
Pada abad ke-8 mucul ulama yang menyusun ilmu-ilmu tentang al-Qur’an, Ibnu Abi al-ishba’ tentang badai Al-Qur’an, yang membahas macam-macam keindahan bahasa dalam al-Qur’an yang membahas tentang sumpah-sumpah al-Qur’an.
Pada abad ke-9, jalaluddin al-suyuthi menyusun dua kitab, al-Tahbir fi ‘ulum-al Tafsir dan al-Itqan fil ‘Ulum al-Qur’an. Kedua kitab ini puncak karang-mengarang dalam ulum al-Qur’an setelah abad ini hampir tidak adalagi yang mampu melampui batas karyanya. Ini terjadi sebagai akibat meluasnya sifat taklid.
Sejak penghujung abad ke-13 H. Sampai saat ini perhatian para ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an bangkit kembali. Kebangkitan ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam ilmu-ilmu agama lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang permasalahan diatas, maka kami akan menguraikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Ulumul Qur’an?
2. Bagaimana sejarah Al-Qur’an?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sebuah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian ilmu Tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain:
- Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan:
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
- Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
“ Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatnya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul Qur’an adalah ilmu-ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya.
2. Sejarah Al-Qur’an
Sejarah Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril. Diungkapan bahwa turunnya Al-Qur’an turun dari atas kebawah, maksutnya Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan besarnya ajaran-ajaran yang dapat mengubah perjalanan hidup manusia serta menyambung langit dan bumi serta dunia dan akhirat. Tentang ayat-ayat yang pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Menurut pendapat yang terkuat ialah ayat permulaan surat al ‘alaq.
Ayat-ayat tersebut diturunkan ketika Rasulullah berada di gua hira’, yaitu sebuah gua yang berada di jabal Nur, yang terletak kira-kira tiga mil dari kota makkah. Turunnya Al-Qur’an dinamakan “Lailatul-Qadr” dan “Lailatul Mubarakhah”, yaitu suatu malam kemuliaan dan penuh keberkahan. Ini terjadi pada malam hari senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari usia Rasulullah 13 tahun sebelum Hijrah, bertepatan dengan bulan juli tahun 610 M. Saat pertama kali Al-Qur’an turun pertama kali pernah disebut dengan Yaumul Furqon, karena bersamaan dengan hari bertemnya dua golongan atau dua pasukan, yaitu pasukan kaum muslimin dan pasukan musuh pada peristiwa perang badar. Menurut penyilidikan para ahli sejarah peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Ramadhan.
Mengenai ayat yang paling akhir diturunkan, menurut pendapat yang terkuat ialah firman Allah dalam Q.S. Al Ma’idah: 3, yang artinya “pada hari ini telah ku sempurnakan bagiku agamamu, dan telah ku-cukupkan atasmu nikmat-ku, dan telah ku ridhai islam menjadi agamamu”. Firman tersebut diturunkan ketika nabi Wukuf di padang Arafah sewaktu melakukan ibadah “Hijjatul Wada’” itu terjadi pada hari jum’at tanggal 9 zulhijah, tahun 10 H. Rasulullah wafat pada hari senin tanggal 13 Rabi’ul Awwal tahun 11 H, atau 7 juni 632 M.
Apabila kita hubungkan saat permulaan dan saat terakhir turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu, terungkaplah bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. (Ini menurut perhitungan Ustaz Al-Khudhari, dalam bukunya “Tarikhut-Tasri”), yang terbagi menjadi dua priode, yaitu periode Makkiyah dan periode Madaniyah.
Dalam Q.S. Al-Muddatsir; 1-10 yang berdasarkan riwayat-riwayat terkuat dinyatakan sebagai ayat-ayat yang turun untuk kedua kalinya, Allah telah memerintahkan Nabi agar bangkit dan memberikan peringatan atau kabar kepada umatnya, dimana Allah berfirman: “Qum, faanzir!” maka mulailah beliau menjelaskan tugas megajak umat masuk agama islam. Akan teteapi sementara itu wahyu terputus, Nabi amat merasa sedih dan gelisah karena wahyu terputus disaat beliau sedang melasksanakan tugas yang amat berat yang perlunya tuntunan-tuntunan dari Allah. Kesedihan dan kegelisahan itu telah mencapai puncaknya, ketika beliau merasa telah ditinggalkan oeleh Tuhannya seorang diri dengan keadaan yang sedemikian rupa, hingga didalam diri Rasulullah berbesit maksud untuk melemparkan diriNya kedalam jurang dari atas gunung. Namun kesedihan dan kekecewaan yang dialami Rasul semuanya hilang ketika wahyu turun kepada beliau lagi, yaitu ayat-ayat surat Ad-Duha; yang menggambarkan betapa hebatnya derita batin yang beliau tanggung dan betapa pula Tuhan menghibur hati Nabi.
Para Ulama’ menyebutkan bahwa hikmah dari terputusnya wahyu itu antara lain:
a. Suoaya rasa takut yang dialami Nabi ketika turunnya wahyu pertama kali di Gua Hira lenyap
b. Supaya timbul rasa kerinduan dalam hati Nabi untuk kembalinya wahyu kepada beliau setelah terputusnya dalam beberapa waktu.
Dalam masa terputusnya wahyu pada waktu itu kaum kafir menyerang Rasulullah dan Al-Qur’an, dengan cara tidak mengakui dan mempercayai kenabian dan kerasulan beliau, dan tidak mempercayai bahwa Rasulullah benar-benar telah menerima wahyu dari Allah, bahkan mereka menuduh bahwa apa yang dikatakan wahyu oleh Rasulullah itu hanyalah buatan atau karangan beliau belaka.
Akan tetapi kemudian Allah menurunkan kembali wahyu kepada Rasulullah. Dengan hal ini telah membuktikan pula bahwa Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah, bukan buatan manusia.
Al-Qur’an diturunkan secara betahap tidak disebabkan karena Al-Qur’an lebih besar dari semua kitab yang diturunkan Allah sebelumnya, melainkan juga karena adanya beberapa hikmah antara lain:
1. Untuk menguatkan dan mengokohkan hati Rasulullah.
2. Memudahkan kaum muslimin untuk mempelajari dan menghafalkan serta menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
3. Untuk menyesuaikan dengan kepentingan Rasulullah dan kaum muslimin serta perkembangan yang mereka alami dari masa ke masa.
4. Dengan turunnya Al-Qur’an secara bertahap itu, sangat sesuai dengan sunatullah bahwa “segala sesuatu harus terjadi dengan bertahap”
a. Pemeliharaan Al-Qur’an Dimasa Rasulullah
Al-Qur’an Al-Karim diturunkan kepada rasul yang ummi (tidak bisa baca tulis) karena itu Nabi fokus untuk sekedar menghafal dan menghayati, supaya dapat menguasai Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Jumu’ah: 2. yang artinya: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayatnya kepada malaikat mensucikan meraka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”.
Bangsa arab pada masa itu belum dapat baca tulis, namun pada umumnya mereka memiliki daya ingat yang sangat kuat. Sehingga pada saat rasulullah menerima wahyu berupa ayat-ayaat Al-Qur’an beliau membacakannya didepan para sahabat, yang kemudian oleh sahabat dihafalkan. Namun rasulullah menyuruh kutab (penulis wahyu) untuk menuliskan wahyu yang baru diterimanya itu. Tulisan yang ditulis oleh para penulis wahyu disimpan dirumah rasul. Disamping itu mereka juga menulis untuk diri mereka sendiri. Disaat rasul masih hidup Al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi mushab. Cara yang dilakuakan para sahabat menulis wahyu tergolong unik. Mereka menulis wahyu pada pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang dan sebagainya.
Para sahabat mempelajari serta memahami kandungan Al-Qur’an pada masa itu bertempat dirumahnya Zaid bin al-arqam, karena pada saat itu islam masih disembunyikan. Saat islam telah berhijrah ke madinah, dan islam telah menyebar kekabilah-kabilah Arab, mulailah para sahabat yang telah hafal Al-Qur’an pergi ke kampung-kampung untuk menemui kabilah-kabilah yang telah islam guna mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Kemudian tiap-tiap kabilah yang telah mempelajari Al-Qur’an, dibebankan untuk mengajari teman-temannya yang belum mengetahui. Sahabat-sahabat lalu pergi ke kabilah-kabilah yang lain untuk menyebarkan Al-Qur’an seterusnya.
Ada beberapa faktor yang menjamin kemurnian Al-Qur’an pada masa itu, hafalan yang sangat kuat dari para sahabat, naskah Al-Qur’an yang ditulis untuk Nabi, naskah Al-Qur’an yang ditulis oleh para penulis wahyu untuk dirinya sendiri, serta tadarus yang dilakukan setiap tatun sekali oleh malaikat Jibril dan Rasulullah. Dan yang terakhir adalah ceking Nabi terhadap hafalan para sahabat setiap saat. Semua ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Hijr: 9. yang artinya: “sesungguh-Nya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguh-Nya kami telah menjaganya”.
b. Pemeliharaan Al-Qur’an Dimasa Abu Bakar Dan usman.
Pada masa ini Rosulullah telah wafat sedangkan Al-Qur’an telah ditulis seluruhnya pada pelepah qurma, batu-batu tipus, dan tulang-tulang belikat di samping Al-Qur’an telah di hafal di dada kaum muslimin. Apabila kita mengandalkan semua itu yang dapat hancur, kita tidak dapat mempelajari Al-qur’an lagi. Belum lagi ketika terjadi pertempuran antara Musailamah (yang mempengaruhi kaum muslimin yang lemah imannya untuk tidak membayar zakat) dengan pasukan kholifah Abu Bakar yang telah menggugurkan 70 Hafiz Al-Qur’an pada masa itu.
Oleh karena itu, ketika Abu Bakar menjabat sebagai kholifah, beliau membuat sebuah panitia untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih tercecer. Panitia tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit, dengan beranggotakan Ubay bin ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan.
Dalam penyalinan kembali Al-Qur’an, Abu Bakar menetapkan pedoman sebagai berikut:
1.Penulisan berdasarkan sumber tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul yang tersimpan dikediaman Rasul.
2.Penulisan beradasarkan kepada sumber hafalan pada sahabat penghafal Al-Qur’an.
Hal ini digunakan untuk menjaga keaslian Al-Qur’an. Pekerjaan ini selesai dalam waktu satu tahun yaitu pada tahun ke-13 H dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh sahabat lainnya. Kemudian berdasarkan hasil musyawarah tulisan Al-Qur’an itu dinamai “Mushaf”.
Setelah Abu Bakar wafat, mushaf disimpan oleh kholifah Umar, dan setelah Umar wafat mushaf disimpan oleh Hafsah bukan oleh Usman , karena hafsah adalah istri rasulullah dan Hafsah pandai menulis dan membaca Al-Qur’an. Pada masa Abu Bakar dan Umar, masing-masing penulis memegangi mushaf tulisanya sendiri-sendiri. Dan pada masa itu banyak mushaf yang tersebar di kota-kota.
Beberapa saat setelah Usman menjabat sebagai kholifah, di kota-kota besar banyak terjadi pertikaian yang terjadi karena setiap daerah memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Dengan hal ini usman melakukan penelitian terhadap suhuf yang telah sempurna pengumpulannya pada masa Abu Bakar dan Umar. Dan Usman menyatakan bahwa suhuf yang disimpan hafsah itulah yang mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai pegangan. Dengan hal ini tidak ada perselisihan sedikitpun.
Dengan uraian diatas dapat kita ketahui bahwa tujuan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf supaya tidak ada ayat/kalimat yang hilang. Sedangkan tujuan pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman adalah menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam tulisan dan ejaannya, penyeragaman sistem bacaan dan tertib surat-suratnya.
Pada masa permulaan muawwiyah, yang bernama Abdul Aswand Al-Duali (salah seorang tokoh tabi’in) wafat tahun 69 H diminta untuk menciptakan syakal atau harakat. Harakat yang diciptakannya masih sederhana yaitu berupa titik. Sistem ini belum dapat menghindari kesalahan dalam bacaan. Oleh karena itu untuk membedakan satu huruf dengan huruf yang lain yang sama bentuknya, maka pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan atas perintah beliau kepada gebernur Al-Hajjaj menyuruh Nasr bin Ashin dan Yahya bin Ya’mar menciptakan tanda-tanda yang membedakan antara huruf yang sama bentuknya. Tanda itu berupa garis pendek sebuah, dua buah, atau tiga buah yang diletakkan diatas atau dibawah huruf-huruf tertentu, misalnya satu garis pendek dibawah huruf menjadi ba’, dua titik menjadi ya’.
Tanda seperti in berlaku sejak pada masa Bani Umayyah. Lama kelamaan tanda-tanda ini menjadi serupa, sehingga menjadi sukar untuk membedakannya. Timbullah inisiatif Khalil bin Ahmad (wafat 70 H) menyempurnakan tanda-tanda itu sebagai berikut:
• Huruf alif kecil miring diatas huruf sebagai tanda fathah.
• Huruf ya’ kecil miring dibawah huruf sebagai kasrah.
• Huruf wawu miring di atas huruf sebagai tanda dhumah
• Beliau juga membuat tanda mad panjang bacaan dan tasdid (tanda ganda huruf)
Sesudah itu barulah para hafid membuat tanda-tanda ayat, tanda waqaf (berhenti) dan tanda ibtida’ (mulai) seria menerangkan dipangkal-pangkal surat, nama surat dan tempat turunnya serta menyebut bilangan ayatnya. Menurut sebagian tarikh, hal ini dikerjakan atas kemauan Al-Makmun.
c. Usaha Lanjutkan Dalam Penyempurnaan Mushaf Usmani
Dari beberapa naskah yang dikirim Usman bin Affan, umat islam menyalin Al-Qur’an untuk mereka sendiri dengan teliti dan cermat. Peyalinan terhadap mushaf-mushaf Usman dilakukan sangat pesat sekali. Suatu riwayat mengatakan bahwa ketika terjadi peperangan antar Ali dengan Muawwiyah, jumlah-jumlah mushaf yang diangkat diatas tombak ada 300 buah, meskipun pada waktu itu penyalinan dilakukan dengan tulisan tangan saja. Ini membuktikan betapa pesatnya perkembangan jumlah mushaf.
Allah berkemauan untuk menyiarkan kitab-Nya diseluruh penjuru dunia dengan perantaraan percetakan. Seperti halnya penulisan Al-Qur’an, percetakan Al-Qur’an itu juga mengalami fase-fase perbaikan.
Al-Qur’an pertama kali dicetak di Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Tetapi ketika cetakan penguasaan gereja, gereja mengeluarkan perintah untuk memunaskan Al-Qur’an itu. Kemudian Hinkleman melakukan percetakan Al-Qur’an di kota Hanburg tahun 1694 H. Kemudian diiringi oleh Marrocci dengan mencetaknya di Padona pada tahun 1698 M. Kemudian munculpercetakan pertama secara islam dilaksanakan oleh Maulaya Usman, di Saint Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M,
seperti itu juga di Qazan.di Iran terjadi percetakan dua kali, tahun 1828 M. Di Teheran pada tahun 1833 M. Dan Tibriz Flugel mencetak Al-Qur’an di Leipzig pada tahun 1834 M.
D. SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata “Ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata Ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahana kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Terbentuknya Al-Qur’an melalui perjuangan yang sangat berat oleh Rasul dan para sahabat ketika itu. Hal ini sangat sepadan dengan hikmah adanya Al-Qur’an dimuka bumi ini. Oleh karena itu kita sebagai pemeluk agama islam wajib mempelajari dan memperaktikan ilmu-ilmu yang terkandung didalam Al-Qur’an.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini disusun untuk menjadi bahan pengetahuan yang bermanfaat pembaca. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam makalah ini, tidak lain karena keterbatasan penulis, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
•Adzim, Moh. Abdul. Al-Zulqiani, manahin Fi Al-Irfan Ulumul Qur’an.
•Mustofa, Ahmad. 1984. Sejarah Al-Qur’an. Surabaya: Al-Ikhlas.
•Aminah, Siti. 1990. Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, jilid 1. Semarang: Duta Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar