TRANSFORMASI HUKUM ISLAM
PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum Islam, yakni syari’at, fiqh, qanun, fatwa, qadha, siyasah syar’iyah dan hukum. Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Mengingat pentingnya peristilahan ini, setiap orang dan kelompok cenderung memahaminya sesuai dengan kerangka pikirnya masing-masing.
Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran, namun yang ada dalam Alquran adalah kata syari’at, fiqh, hukm dan yang seakar dengannya. Dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”.
Secara harfiah kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. Menurut Abu Aal-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, perkataan syariah berarti sesuatu yang terbentang jalan kepadanya.
Menurut ijma’ ulama syari’at ialah hukum-hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut dengan hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al-din dan millah).[1]
Menurut Manna’ al-Qaththan sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman Djamil syari’at adalah segala ketentuan Allah swt yang disyari’atkan kepada hamba-Nya baik menyangkut akidah, akhlak maupun mu’amalah.
Istilah syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak. Dengan demikian syariah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari pembalasan. Singkatnya syariah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim).[2]
Menurut pendapat al-Amidi fiqh ialah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang didapatkan melalui penalaran atau penelitian dan istidlal.
Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqih), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.
Dengan demikian fiqih bukanlah syari’at, melainkan produk atau hasil dari syari’at itu sendiri yang digali para mujtahid (orang yang melakukan penelitian terhadap dalil baik itu Alquran maupun hadis). Ia hanya membicarakan amaliyah furu’iyah yang didasarkan pada dalil-dalil terperinci. Dalil yang digali itu sifatnya zhanny (dapat diinterpretasikan) bukan qath’iy (yang tidak dapat diinterpretasikan).
Penerapan fikih ini dalam kehidupan sehari-hari bisa dalam bentuk fatwa ketika warga Muslim mempertanyakan ketentuan sesuatu hal kepada tokoh yang dianggap paling tahu fikih, yang dikenal dengan nama mufti. Fatwa lebih merupakan upaya sukarela masyarakat untuk menerapkan panduan Ilahi dalam mengatur tindak-tanduk mereka, dan oleh karenanya ia lebih merefleksikan kondisi riil masyarakat.[3]
Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa kalimat hukum yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini berasal dari kata hukm ( ﺤﻛﻢ) yang artinya norma atau kaidah ; ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Kata ha-ka-ma dalam bahasa Arab dapat juga dimaknai dengan mencegah atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut hukum.
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allah, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman dalam bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh.[4]
B. TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
1. PROSES TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
Perpindahan transformasi hukum telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw. Hukum yang dikeluarkan disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi hukum-hukum itu disebarkan oleh para sahabat Nabi yang ada, baik itu sebelum Nabi wafat maupun sesudah Nabi wafat hingga masa Khulafaurrasyidin. Pembinaan hukum pada masa Fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan.
Di dalamnya munculah para Fuqaha yang menjadi tumpuan taklid keagamaan serta munculnya murid-murid mereka yang menerangkan pendapat-pendapat mereka dengan tidak adanya kemerdekaan mereka dalam penisbatan ini. Lalu pembinaan itu semakin kompleks permasalahannya dengan munculnya buku-buku besar atau karangan-karangan dari para Imam yang membahas masalah tersebut. Sampai saat ini hukum-hukum Islam itu masih kita pegang teguh (yang berupa al Quran dan al Hadits) dengan didukung oleh kemampuan pemikir fiqih kontemporer.
2. PERANAN IMAM-IMAM MUJTAHID
Peranan Imam-imam mujtahid di dalam penentuan hukum Islam sangat penting, karena pemikiran mereka nantinya akan diikuti oleh umat muslim lainnya. Apalagi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kewajiban orang Islam, apabila ia sendiri sukar mencapai hukum langsung dari dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak mesti ia menganut suatu madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan suatu madzhab dari imam-imam itu.
Adapun syarat-syarat mujtahid adalah
1. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al Quran. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya. Misalnya, tentang 'amm (lafal umum),
khass (lafalkhusus), mutlaq (lafal mutlak), muqayyad (lafal yang terbatas), dan lain lain.
2. Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunnah Rasulullah saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al Bayan) dari al Quran dan sumber hukum Islam kedua setelah al Quran. Pengetahuan itu meliputi segala ilmu yang berkaitan dengan sunah, yaitu ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah, ilmu jarh wa ta'dil, asbabul wurud dan ilmu lainnya yang terkait.
3. Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma' serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh para ulama'.
4. Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab. Seperti di dalam surat Yusuf ayat 2.
اِنَّا أَنْزَلْنَه ُقُرْءَناًعَرَبِياًّلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ (يوسف: 2)
5. Menguasai ilmu ushul fiqih. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqih secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengistinbatkan hukum syara' dari al Quran dan sunah.
6. Memahami maksud-maksud syara' secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah swt dalam mensyariatkan hukum.
C. DAMPAK PERBEDAAN PENDAPAT ANTAR ULAMA
Perbedaan yang muncul dari para ulama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Berbeda pengertian perkataan. Ini merupakan bab yang luas yang terjadi karena kata-kata yang jarang dipakai, kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu, adanya pengertian kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan urf mengenai arti sesuatu perkatan yang dipakai.
2. Riwayat (kejadian bahwa ada hadits yang sampai pada sebagian dan tidak sampai kepada sebagian yang lain atau sampai dengan cara yang tidak memungkinkanhadits itu dijadikan hujjah, sedang kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah; atau sampai kepada kedua-duanya dari satu jalan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang memberi nilai kepada salah seorang perawi yang menyampaikan hadits itu.
3. Berlawanan dalil mengenai qaidah-qaidah yang sebagian menerimanya sedang yang lain tidak menerimanya.
4. Berlawanan dan mentarjihkan.
5. Qias.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan tentang boleh tidak memakainya.[5]
Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan para ulama ini sangat banyak, diantaranya:
1. Munculnya madzhab dari beberapa para imam
2. Munculnya berbagai aliran-aliran / faham-faham
3. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terutama masalah fiqih
[1] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000.hlm. 38.
[2] Muhammad Ali al-Sais. Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadiy wa Athwaruh. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah.1970. hlm. 8-9.
[3] Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1989. hlm. 9.
[4] Ridwan Lubis. Setengah Abad Proses Transformasi Pemikiran Islam Di Indonesia.1995. hlm. 1.
[5] http://Library For Children's STUDY FIQIH, HAKIKAT FIQIH.htm
READ MORE - TRANSFORMASI HUKUM ISLAM
PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum Islam, yakni syari’at, fiqh, qanun, fatwa, qadha, siyasah syar’iyah dan hukum. Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Mengingat pentingnya peristilahan ini, setiap orang dan kelompok cenderung memahaminya sesuai dengan kerangka pikirnya masing-masing.
Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran, namun yang ada dalam Alquran adalah kata syari’at, fiqh, hukm dan yang seakar dengannya. Dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”.
Secara harfiah kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus. Menurut Abu Aal-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, perkataan syariah berarti sesuatu yang terbentang jalan kepadanya.
Menurut ijma’ ulama syari’at ialah hukum-hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut dengan hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al-din dan millah).[1]
Menurut Manna’ al-Qaththan sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman Djamil syari’at adalah segala ketentuan Allah swt yang disyari’atkan kepada hamba-Nya baik menyangkut akidah, akhlak maupun mu’amalah.
Istilah syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak. Dengan demikian syariah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari pembalasan. Singkatnya syariah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim).[2]
Menurut pendapat al-Amidi fiqh ialah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang didapatkan melalui penalaran atau penelitian dan istidlal.
Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqih), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.
Dengan demikian fiqih bukanlah syari’at, melainkan produk atau hasil dari syari’at itu sendiri yang digali para mujtahid (orang yang melakukan penelitian terhadap dalil baik itu Alquran maupun hadis). Ia hanya membicarakan amaliyah furu’iyah yang didasarkan pada dalil-dalil terperinci. Dalil yang digali itu sifatnya zhanny (dapat diinterpretasikan) bukan qath’iy (yang tidak dapat diinterpretasikan).
Penerapan fikih ini dalam kehidupan sehari-hari bisa dalam bentuk fatwa ketika warga Muslim mempertanyakan ketentuan sesuatu hal kepada tokoh yang dianggap paling tahu fikih, yang dikenal dengan nama mufti. Fatwa lebih merupakan upaya sukarela masyarakat untuk menerapkan panduan Ilahi dalam mengatur tindak-tanduk mereka, dan oleh karenanya ia lebih merefleksikan kondisi riil masyarakat.[3]
Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa kalimat hukum yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini berasal dari kata hukm ( ﺤﻛﻢ) yang artinya norma atau kaidah ; ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Kata ha-ka-ma dalam bahasa Arab dapat juga dimaknai dengan mencegah atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut hukum.
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allah, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman dalam bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh.[4]
B. TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
1. PROSES TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
Perpindahan transformasi hukum telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw. Hukum yang dikeluarkan disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi hukum-hukum itu disebarkan oleh para sahabat Nabi yang ada, baik itu sebelum Nabi wafat maupun sesudah Nabi wafat hingga masa Khulafaurrasyidin. Pembinaan hukum pada masa Fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan.
Di dalamnya munculah para Fuqaha yang menjadi tumpuan taklid keagamaan serta munculnya murid-murid mereka yang menerangkan pendapat-pendapat mereka dengan tidak adanya kemerdekaan mereka dalam penisbatan ini. Lalu pembinaan itu semakin kompleks permasalahannya dengan munculnya buku-buku besar atau karangan-karangan dari para Imam yang membahas masalah tersebut. Sampai saat ini hukum-hukum Islam itu masih kita pegang teguh (yang berupa al Quran dan al Hadits) dengan didukung oleh kemampuan pemikir fiqih kontemporer.
2. PERANAN IMAM-IMAM MUJTAHID
Peranan Imam-imam mujtahid di dalam penentuan hukum Islam sangat penting, karena pemikiran mereka nantinya akan diikuti oleh umat muslim lainnya. Apalagi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kewajiban orang Islam, apabila ia sendiri sukar mencapai hukum langsung dari dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak mesti ia menganut suatu madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan suatu madzhab dari imam-imam itu.
Adapun syarat-syarat mujtahid adalah
1. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al Quran. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya. Misalnya, tentang 'amm (lafal umum),
khass (lafalkhusus), mutlaq (lafal mutlak), muqayyad (lafal yang terbatas), dan lain lain.
2. Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunnah Rasulullah saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al Bayan) dari al Quran dan sumber hukum Islam kedua setelah al Quran. Pengetahuan itu meliputi segala ilmu yang berkaitan dengan sunah, yaitu ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah, ilmu jarh wa ta'dil, asbabul wurud dan ilmu lainnya yang terkait.
3. Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma' serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh para ulama'.
4. Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab. Seperti di dalam surat Yusuf ayat 2.
اِنَّا أَنْزَلْنَه ُقُرْءَناًعَرَبِياًّلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ (يوسف: 2)
5. Menguasai ilmu ushul fiqih. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqih secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengistinbatkan hukum syara' dari al Quran dan sunah.
6. Memahami maksud-maksud syara' secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah swt dalam mensyariatkan hukum.
C. DAMPAK PERBEDAAN PENDAPAT ANTAR ULAMA
Perbedaan yang muncul dari para ulama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Berbeda pengertian perkataan. Ini merupakan bab yang luas yang terjadi karena kata-kata yang jarang dipakai, kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu, adanya pengertian kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan urf mengenai arti sesuatu perkatan yang dipakai.
2. Riwayat (kejadian bahwa ada hadits yang sampai pada sebagian dan tidak sampai kepada sebagian yang lain atau sampai dengan cara yang tidak memungkinkanhadits itu dijadikan hujjah, sedang kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah; atau sampai kepada kedua-duanya dari satu jalan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang memberi nilai kepada salah seorang perawi yang menyampaikan hadits itu.
3. Berlawanan dalil mengenai qaidah-qaidah yang sebagian menerimanya sedang yang lain tidak menerimanya.
4. Berlawanan dan mentarjihkan.
5. Qias.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan tentang boleh tidak memakainya.[5]
Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan para ulama ini sangat banyak, diantaranya:
1. Munculnya madzhab dari beberapa para imam
2. Munculnya berbagai aliran-aliran / faham-faham
3. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terutama masalah fiqih
[1] Mohammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000.hlm. 38.
[2] Muhammad Ali al-Sais. Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadiy wa Athwaruh. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah.1970. hlm. 8-9.
[3] Ahmad Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1989. hlm. 9.
[4] Ridwan Lubis. Setengah Abad Proses Transformasi Pemikiran Islam Di Indonesia.1995. hlm. 1.
[5] http://Library For Children's STUDY FIQIH, HAKIKAT FIQIH.htm